Ada satu titik
yang tak bisa dijelaskan oleh kata,
tak bisa dibeli oleh waktu
atau dicapai oleh gelar.
Ia hadir
setelah seluruh ambisi luruh,
setelah kehilangan demi kehilangan
menelanjangi jiwa
dari pakaian dunia.
Titik itu—
bukan tempat kalah,
tapi ruang bening
di mana aku tak lagi ingin menjadi apa-apa
kecuali hamba.
Di sana,
aku tidak lagi mengejar
melainkan menerima.
Tidak lagi berteriak
melainkan diam.
Karena dalam diam itu
aku mendengar paling jelas:
"Cukuplah Aku bagi-Ku,
dan cukuplah Aku bagimu."
Tak semua orang mau sampai ke sini,
karena dunia mengajarkan:
“Jadilah besar.”
Tapi Tuhan memanggil:
“Jadilah tunduk.”
Dan di titik hampa itulah
jiwa menjadi jernih.
Melihat dunia—sementara.
Melihat kehilangan—perjalanan.
Melihat hidup—titipan.
Dan melihat Allah,
sebagai satu-sa
tunya
yang benar-benar tak pernah pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar