oleh Fian Amrullah Darmawan
Aku berdiri di depan mesin,
lampunya terang seperti menyorot isi dadaku.
Kupencet angka-angka
dengan jari yang sedikit gemetar,
bukan karena takut salah,
tapi karena takut kecewa.
Enam belas juta sekian.
Itu angka yang muncul—
seolah menertawakan mimpi yang terlalu tinggi
untuk seorang laki-laki biasa.
Aku terdiam lama.
Bertanya dalam hati:
“Dengan angka ini...
apa aku pantas datang ke ayahmu
membawa niat yang tulus tapi tak cukup?”
Kepalaku penuh hitung-hitungan,
tapi hatiku hanya dipenuhi satu hal:
kamu.
Bukan tentang pesta,
bukan soal gaun atau gedung megah,
tapi tentang ketulusan
yang ingin kupeluk erat dalam akad.
Tapi dunia tak selamanya mengerti ketulusan.
Ia butuh bukti,
dan kadang, bukti itu harus bisa dicairkan di mesin ATM.
Jadi aku pulang—
membawa langkah yang berat,
tapi membawa niat yang tetap utuh.
Karena mahar terbaik dari lelaki biasa
adalah kesungguhan
yang tak tercetak dalam struk,
tapi tercatat di langit
sebagai cinta yang jujur dan sabar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar