Hari kelima,
langit masih mendung dalam dadaku.
Suara adzan pun terasa lirih,
seperti rindu yang menggigil di balik tulang.
Aku masih bangun pagi dengan ilusi
kau akan duduk di meja makan,
tersenyum sambil minta tambah nasi.
Tapi nyatanya hanya sunyi
yang menyendokkan luka ke piring jiwa.
Ibuku belum berhenti menatap pintu,
seakan kau bisa pulang dari alam sana.
Ayah…
masih diam seribu doa,
menyeka air mata tanpa isak.
Hari kelima,
kami masih belajar menerima,
bahwa surga tak menunggu usia,
dan kematian tak pernah izin dulu.
Tapi aku percaya,
kau kini tenang dalam cahaya,
bermain di taman Tuhan
dengan baju putih dan senyum lega.
Doa kami tak akan putus, dik,
karena cinta
tak pernah pun
ya batas ruang
ataupun waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar