Aku, Takdir, dan Titik Koma
Pernah aku ingin meletakkan titik,
menutup kalimat hidup
yang terasa terlalu berat dibaca.
Aku kira ini akhir,
aku kira tak ada lagi halaman selanjutnya.
Karena apa yang kutulis
hanya luka,
kekosongan,
dan kehilangan.
Tapi Tuhan meletakkan titik koma.
Bukan titik.
Tanda kecil yang nyaris tak terlihat,
namun cukup kuat untuk berkata:
“Kau belum selesai.”
Ia menyelipkan nafas baru
di antara sisa air mata,
membiarkan aku istirahat sejenak
tanpa harus menyerah sepenuhnya.
Dan di situ aku belajar:
bahwa takdir bukan selalu tentang akhir,
kadang ia hanya jeda—
untuk memberi ruang pada jiwa
yang hampir patah
untuk tumbuh lagi.
Titik koma itu adalah kasih-Nya,
yang tahu kapan aku butuh rehat,
bukan selamat tinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar