Jiwaku penuh semangat mempelajari arah mata angin,
Menuju titik temaram yang tak terjangkau oleh peta.
Langkahku tertatih dalam diam yang dingin,
Namun rinduku hangat, menyalakan asa yang nyata.
Aku membaca langit, memaknai awan,
Setiap arah mengingatkan pada matamu yang tenang.
Dalam desir angin, ada namamu yang perlahan,
Hadir seperti doa yang tak pernah hilang.
Tak kupinta jalan yang mudah,
Hanya arah yang membawaku pulang.
Pulang, bukan pada rumah atau tempat,
Tapi pada dirimu—yang menjadi arah sejak lama.
Di titik temaram itu, kutemui cahaya,
Bukan dari mentari, tapi dari tatapmu yang setia.
Engkaulah kiblat bagi hatiku yang lama tersesat,
Penunjuk arah dalam cinta yang tak lagi berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar