Fatwa Langit
Manusia menggenggam harapan,
merangkai rencana dengan tangan gemetar,
berharap esok cerah,
berdoa agar takdir tunduk pada doa.
Namun langit punya caranya sendiri—
tak lantang, tak terburu,
hanya bisu yang penuh makna:
"Yang terjadi adalah fatwa-Ku,
bukan fatwamu."
Kita ingin sembuh,
Allah ingin kita kembali.
Kita ingin berhasil,
Allah ingin kita belajar kehilangan.
Kita ingin bahagia,
Allah ingin kita kembali pada-Nya.
Dan di antara tangis dan tak mengerti,
kita akhirnya sujud—
bukan karena kalah,
tapi karena sadar:
rencana-Nya tak pernah keliru.
Langit tak butuh persetujuan kita,
karena Ia Maha Tahu
apa yang tak sanggup kita lihat hari ini.
Maka biarlah fatwa langit berlaku,
pada setiap hembusan napas dan patah hati.
Karena di ujung semua itu,
ada pelukan Tuhan
yang tak pernah salah arah.
merangkai rencana dengan tangan gemetar,
berharap esok cerah,
berdoa agar takdir tunduk pada doa.
Namun langit punya caranya sendiri—
tak lantang, tak terburu,
hanya bisu yang penuh makna:
"Yang terjadi adalah fatwa-Ku,
bukan fatwamu."
Kita ingin sembuh,
Allah ingin kita kembali.
Kita ingin berhasil,
Allah ingin kita belajar kehilangan.
Kita ingin bahagia,
Allah ingin kita kembali pada-Nya.
Dan di antara tangis dan tak mengerti,
kita akhirnya sujud—
bukan karena kalah,
tapi karena sadar:
rencana-Nya tak pernah keliru.
Langit tak butuh persetujuan kita,
karena Ia Maha Tahu
apa yang tak sanggup kita lihat hari ini.
Maka biarlah fatwa langit berlaku,
pada setiap hembusan napas dan patah hati.
Karena di ujung semua itu,
ada pelukan Tuhan
yang tak pernah salah arah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar