Sabtu, 31 Mei 2025

Doa Adalah Cara Terhalus untuk Memelukmu

 oleh Fian Amrullah Darmawan



Aku tak bisa menyentuhmu,

karena adabku lebih tinggi dari rinduku.

Aku tak bisa menggenggammu,

karena cintaku lebih dalam dari sekadar genggaman.


Tapi aku bisa memelukmu,

dengan cara yang tak akan kau lihat—

lewat doa yang kutitipkan setiap malam,

di antara zikir yang tak pernah kau dengar.


Doa adalah pelukan paling tulus

dari lelaki yang menjaga jarak,

tapi tidak pernah menjauhkan rasa.


Aku peluk hatimu

saat kau tak sanggup berdiri.

Aku peluk lelahmu

saat dunia terlalu riuh.

Aku peluk langkahmu

agar selalu diberi arah yang tenang.


Kau mungkin tak tahu

seberapa sering namamu kusebut

dalam percakapan rahasia

antara aku dan Tuhan.


Dan jika suatu hari nanti

kau bahagia,

tanpa tahu siapa yang paling sering memelukmu dalam doa—

tak mengapa.

Sebab cinta seperti itu

memang tak butuh pengakuan,

hanya keikhlasan.


Karena dalam dunia para pecinta,

tak semua peluk harus nyata.

Kadang, cukup dengan doa

yang tak pernah henti

m

engiringi langkahmu,

meski dari kejauhan.

Jumat, 30 Mei 2025

Mencintaimu Adalah Belajar Ikhlas Tanpa Akhir

 oleh Fian Amrullah Darmawan



Mencintaimu,

adalah sekolah tanpa kelulusan.

Setiap hari, aku belajar hal yang sama:

ikhlas,

dan lebih ikhlas lagi.


Aku tak tahu,

apakah cinta ini akan bersambut,

atau hanya menjadi sunyi yang abadi.

Tapi aku tahu satu hal—

perasaanku ini bukan sekadar harap,

tapi tekad untuk tetap baik,

meski tak digenggam oleh tanganmu.


Aku pernah berharap kau membalas tatap,

pernah ingin kau tahu rasaku seutuhnya.

Tapi waktu mengajarkanku,

bahwa mencintaimu tak harus memiliki.

Yang penting:

aku tak menyakitimu,

tak memaksamu,

dan tak berhenti mendoakanmu.


Maka aku menulis namamu

di dalam setiap sujud,

di sela-sela kesibukan dunia,

dan di barisan paling sunyi dalam hatiku.


Bukan untuk menuntut,

tapi sebagai cara

agar aku tidak kehilangan arah

di tengah dunia yang mudah membuat orang menyerah.


Mencintaimu adalah pelajaran panjang

tentang bagaimana menahan,

melepas,

dan tetap berharap—

tanpa mengikatmu dengan apa pun,

selain restu dari langit.

Kamis, 29 Mei 2025

Rindu Tak Harus Bertemu, Tapi Harus Diperjuangkan

 oleh Fian Amrullah Darmawan



Rindu ini bukan sekadar rasa,

ia adalah arah.

Seperti jarum kompas yang selalu menunjukmu,

meski badai menghantam,

meski jarak berubah menjadi dinding yang tinggi.


Aku tidak memaksa untuk bertemu,

karena cinta yang dipaksa

akan gugur seperti bunga sebelum mekar.

Tapi aku takkan diam—

karena rindu yang hanya disimpan

bisa membusuk jadi luka.


Maka aku memilih langkah,

meski tertatih.

Aku memilih sabar,

meski hari-hari terasa sepi.

Aku memilih berjuang,

meski dunia bilang aku terlalu biasa untuk mimpi sebesar dirimu.


Aku tahu,

mungkin kau tak tahu aku sedang menuju.

Tapi biarlah semesta yang mencatat

bahwa ada satu lelaki

yang tidak menjadikan rindu sebagai alasan meratap,

tapi sebagai semangat untuk bangkit setiap pagi

dan memperbaiki dirinya—

agar kelak saat takdir mengizinkan,

aku bisa menemuimu

bukan sebagai bayangan,

tapi sebagai kenyataan.


Karena bagiku,

rindu yang sejati tak harus selalu berte

mu,

tapi harus selalu diperjuangkan.

Kesabaran Adalah Mahar yang Tak Terlihat

oleh Fian Amrullah Darmawan



Tak ada yang tahu,

betapa lama aku menunggu,

dalam diam yang bahkan tak tercatat di kalender

atau dirayakan di momen-momen manis.


Kesabaran ini…

bukan sekadar menunda keinginan,

tapi melatih hati agar tak merusak harapan

dengan paksaan.


Aku tak bisa menyuguhkanmu emas berkilau,

tapi aku menyimpan sabar

yang setiap hari kutumbuhkan,

seperti menanam pohon di tanah gersang—

tak langsung terlihat,

tapi mengakar pelan-pelan.


Setiap kali ingin menyerah,

aku ingat:

ini bukan tentang seberapa cepat aku sampai,

tapi tentang apakah aku layak saat sampai nanti.


Kesabaran adalah mahar

yang tak dibungkus kotak perhiasan,

tapi terjaga di dalam dada

yang tak pernah berhenti berharap.


Dan jika kelak aku datang,

dengan tangan yang tak membawa dunia,

tapi hati yang penuh luka yang telah kupeluk dan kusembuhkan—

kau tahu, itu bukan kekalahan.

Itulah persembahan paling jujur

dari seorang laki-laki biasa

yang belajar menjadi luar biasa

karena mencintaimu dalam diam yang sabar.

Rabu, 28 Mei 2025

Aku Pernah Gagal Berkali-Kali, Tapi Tidak Pernah Gagal Mencintaimu

 oleh Fian Amrullah Darmawan



Aku pernah gagal—

berkali-kali,

hingga malu rasanya menatap bayanganku sendiri.

Usaha yang kandas,

harapan yang retak,

dan mimpi yang jatuh satu per satu

seperti daun kering di ujung musim.


Tapi anehnya,

aku tak pernah gagal

mencintaimu.

Setiap pagi, rasa itu tetap hadir,

meski tanpa kepastian,

meski tanpa balasan.


Aku bisa salah dalam mengambil jalan,

keliru dalam langkah hidup,

tapi tidak pernah salah

dalam merindukanmu dari kejauhan

dengan hati yang masih utuh.


Mungkin dunia melihatku sebagai pecundang,

lelaki yang tak kunjung berhasil,

yang saldo rekeningnya masih malu untuk ditunjukkan.

Tapi aku tetap percaya,

bahwa keberhasilan terbesar

adalah ketika hati tak menyerah

untuk memperjuangkan seseorang yang disayangi

dalam doa, dalam karya, dalam setia.


Kalau suatu hari nanti

kau bertanya apa yang bisa kubanggakan—

aku akan menjawab:

“Tak banyak,

hanya satu:

aku mencintaimu,

dan tak pernah gagal untuk itu.”

Selasa, 27 Mei 2025

Kalau Bukan Aku yang Datang, Biarkan Aku Tetap Mendoakan

 oleh Fian Amrullah Darmawan



Aku tidak pernah berhenti,

meski tak ada janji yang kau ikatkan padaku.

Tak ada kata cinta yang kau bisikkan,

tak ada genggaman tangan yang kau berikan.


Tapi aku tetap di sini,

mendoakanmu…

dalam sunyi yang bahkan tak kau dengar.


Setiap pagi,

kupinta pada Tuhan:

“Jaga dia, lindungi dia, sehatkan tubuh dan jiwanya.”

Karena mencintaimu

tak selalu harus datang membawa nama.

Kadang, cukup menyebut namamu dalam doa

tanpa kau tahu siapa yang menyebutnya.


Kalau suatu hari kau memilih jalan lain,

dan bukan aku yang kau tunggu di pelaminan—

tak apa.

Aku tetap akan bersyukur,

karena pernah mendoakan seseorang

dengan begitu tulus,

tanpa syarat,

tanpa imbalan.


Jika bukan aku yang datang,

biarlah namaku tetap hidup

dalam catatan langit

sebagai lelaki biasa

yang mencintaimu diam-diam,

tapi dengan penuh kesungguhan.


Karena cinta yang sejati,

bukan tentang siapa yang berhasil memiliki,

tapi tentang siapa yang tak pernah berhenti

mendoakan keselamatan orang yang dicintainya—

meski tak pernah bisa berjalan bersamanya.

Senin, 26 Mei 2025

Mahar Terindah: Janji untuk Tak Menyerah

oleh Fian Amrullah Darmawan



Andai mahar bisa berupa niat,

maka kuserahkan janji

untuk tak menyerah—

walau hidup kadang kejam,

dan cinta harus menunggu musim yang tepat.


Aku mungkin bukan pria dengan angka tinggi di rekening,

tapi aku menyimpan cadangan semangat

yang tak bisa dicetak mesin,

dan tekad yang tak bisa luntur meski hujan dunia datang bertubi.


Kamu tahu,

kadang aku ingin berhenti,

karena dunia tak selalu ramah pada lelaki biasa.

Tapi bayangan wajahmu di pelupuk mata

membuat langkahku kembali tegak.


Aku terus bekerja,

terus mencoba,

bukan hanya demi diriku sendiri—

tapi demi hari di mana aku bisa datang

dengan satu kalimat sederhana:

“Ini aku, lelaki yang tak banyak punya,

tapi tak pernah berhenti mencintai dan berjuang.”


Itulah maharku—

bukan kemewahan,

tapi keteguhan.

Bukan emas permata,

tapi sebuah janji:

aku tak akan menyerah

untuk membuatmu merasa layak dicinta

oleh l

elaki yang kau doakan dalam diammu.

Aku Tak Membawamu dalam Cerita Cinta, Tapi dalam Doa yang Panjang

 oleh Fian Amrullah Darmawan



Kadang dalam gelap yang sunyi,

aku berdoa tak seperti penyair,

tapi seperti hamba yang kehilangan kata

kecuali satu:

"Tolong."


Ya Tuhanku...

jangan permalukan aku

di hadapan perempuan yang kucintai.

Jangan biarkan matanya kecewa,

karena aku tak cukup dunia

untuk membungkus niat yang tulus ini.


Aku memohon,

bukakan pintu langit selebar-lebarnya—

agar rezeki turun seperti hujan

yang tak hanya membasahi tanah,

tapi menyuburkan harapan kami.


Bukakan perut bumi,

agar dari dalamnya muncul jalan-jalan yang tak kusangka.

Dari arah manapun—

utara, selatan, barat, timur,

biarlah datang berkah

yang tak hanya menghidupi,

tapi juga menyatukan.


Aku tak pernah meminta wanita itu datang

dengan cinta yang instan,

aku hanya ingin,

jika waktunya tiba,

aku bisa menjemputnya

bukan dengan tangan kosong,

tapi dengan jiwa penuh kesungguhan.


Karena aku tahu,

doa dari lelaki biasa

mungkin tak mengguncang langit,

tapi bisa mengetuk hati Tuhan

yang Maha Tahu—

bahwa ini bukan soal cinta semata,

tapi soal niat

u

ntuk membangun hidup bersama

dalam ridha-Nya.

Minggu, 25 Mei 2025

Bukan Karena Tak Pantas, Tapi Belum Saatnya

 oleh Fian Amrullah Darmawan



Aku pernah berdiri di ujung kalimat,

ingin mengucap:

"Aku mencintaimu."

Tapi lidahku tak mau bersekutu,

sebab waktu belum berpihak,

dan aku belum siap membawa namamu

dalam doa yang diucap terang-terangan.


Bukan karena aku merasa hina,

bukan pula karena kau terlalu tinggi—

tapi karena aku tahu,

cinta tanpa kesiapan

adalah luka yang sedang menyamar sebagai harapan.


Aku tak ingin menyentuhmu dengan janji,

kalau genggamanku masih gamang.

Tak ingin menatapmu dalam,

kalau masa depanku masih kabur.


Jadi kutahan,

kutundukkan hati saat ia ingin terbang.

Kubiarkan cinta ini tumbuh,

tanpa harus mendesakmu tahu.


Karena aku tahu,

rasa yang benar tak memaksa hadir,

ia menunggu waktu yang matang

seperti buah yang tak dipetik sebelum ranum.


Kelak, jika Tuhan mengizinkan,

aku akan datang.

Bukan sebagai angan,

tapi sebagai lelaki

yang tak sempurna—

namun siap menyempurnakan niatnya.


Karena cinta dari laki-laki biasa,

bukan soal pantas atau tidak,

tapi tentang

berani menunggu

hingga benar-benar waktunya.

Sabtu, 24 Mei 2025

Rencana-Rencana yang Kusimpan Sendiri

oleh; Fian Amrullah Darmawan



Aku pernah menabung harapan,

bukan di bank,

tapi di ruang-ruang sunyi dalam kepala.

Kucicil perlahan:

dari nama yang ingin kusandingkan,

hingga pintu rumah sederhana

yang ingin kubuka bersamamu.


Aku menata rencana,

sendiri—

karena belum waktunya kuceritakan pada siapa pun,

termasuk padamu.


Di sana ada daftar belanjaan sederhana:

beras, teh manis, dan piring dua.

Ada pula catatan kecil:

“peluk dia tiap pulang kerja,

dan jangan lupa cium keningnya sebelum tidur.”


Terdengar lucu mungkin,

tapi itu serius.

Karena cinta bagiku

bukan cuma ungkapan puitis,

tapi keputusan logis

yang lahir dari hati yang sadar dan siap.


Sayangnya,

semua rencana itu belum bisa kubagi,

karena jarak antara aku dan kamu

masih sebesar keyakinanmu yang belum tahu siapa aku.


Tapi tak apa.

Aku tetap menabung,

di celengan keyakinan,

bahwa bila tiba waktunya—

rencana-rencana ini akan menemukanmu

bukan sebagai kejutan,

tapi sebagai j

anji yang telah lama kusebut

dalam diam.

Doaku Diam, Tapi Langit Mendengarnya

 oleh ;Fian Amrullah Darmawan



Aku tak punya keberanian

untuk mengetuk pintumu,

bahkan untuk sekadar menyapa

dalam dunia yang terlalu ramai bagimu

dan terlalu sunyi bagiku.


Tapi aku punya langit,

yang tak pernah menertawai kegugupan,

yang mendengar tangis bahkan sebelum mata memerah.


Di situlah kusebut namamu,

tanpa embel-embel cinta,

tanpa tuntutan dimiliki,

hanya namamu,

lalu kulanjutkan dengan harap:

"Jaga dia, Tuhan... meski bukan aku yang mendampinginya."


Setiap malam,

doa-doa itu naik pelan

tanpa suara,

tapi aku yakin,

langit tak butuh volume tinggi untuk mengerti isi hati.


Aku tak menuntut kau datang.

Cukup kau bahagia,

itu saja sudah membuat lututku lemas dalam sujud yang syahdu.


Cinta lelaki biasa…

memang tak sekuat gempita,

tap

i doanya…

bisa menembus semesta.

Jumat, 23 Mei 2025

Kamu Tak Pernah Tahu, Tapi Aku Selalu Ingat

 oleh Fian Amrullah Darmawan


Kamu mungkin tak ingat

hari itu kau menyapa langit dengan senyum,

dan aku,

diam-diam menyapa hatiku yang bergetar.


Kamu mungkin tak sadar

kau pernah menjatuhkan helaian rambut

saat tertawa kecil karena temanku bercanda,

dan aku,

menunduk pelan, pura-pura mencari sesuatu

padahal cuma ingin melihatmu lebih lama.


Kamu tak pernah tahu

betapa detak jantungku berubah tempo

hanya karena namamu disebut orang.

Kamu tak pernah tahu

aku mengganti rute pulang

hanya untuk tak sengaja bertemu.


Tapi aku selalu ingat.

Detail kecil yang bagimu biasa saja,

bagiku adalah lembaran kenangan

yang tak pernah aus dimakan waktu.


Aku ingat,

meski kamu lupa.

Dan mungkin,

aku akan tetap mengingat—

meski selamanya hanya aku yang merasa.


Karena cinta dari lelaki biasa

kadang tak perlu terlihat dramatis,

cukup mengendap dalam ingatan

dan mene

tap...

tanpa harus meminta balasan.


Anjungan Tunai dan Hati yang Gusar

 oleh Fian Amrullah Darmawan



Aku berdiri di depan mesin,

lampunya terang seperti menyorot isi dadaku.

Kupencet angka-angka

dengan jari yang sedikit gemetar,

bukan karena takut salah,

tapi karena takut kecewa.


Enam belas juta sekian.

Itu angka yang muncul—

seolah menertawakan mimpi yang terlalu tinggi

untuk seorang laki-laki biasa.


Aku terdiam lama.

Bertanya dalam hati:

“Dengan angka ini...

apa aku pantas datang ke ayahmu

membawa niat yang tulus tapi tak cukup?”


Kepalaku penuh hitung-hitungan,

tapi hatiku hanya dipenuhi satu hal:

kamu.


Bukan tentang pesta,

bukan soal gaun atau gedung megah,

tapi tentang ketulusan

yang ingin kupeluk erat dalam akad.


Tapi dunia tak selamanya mengerti ketulusan.

Ia butuh bukti,

dan kadang, bukti itu harus bisa dicairkan di mesin ATM.


Jadi aku pulang—

membawa langkah yang berat,

tapi membawa niat yang tetap utuh.


Karena mahar terbaik dari lelaki biasa

adalah kesungguhan

yang tak tercetak dalam struk,

tapi tercatat di langit

sebagai cinta yang jujur dan sabar.

Kamis, 22 Mei 2025

Surat yang Tak Pernah Kukirim

oleh: Fian Amrullah Darmawan



Aku pernah menulis surat,

tanpa nama penerima,

tanpa alamat yang kutahu benar.

Tapi isinya jelas:

tentangmu.


Kata demi kata kubangun

dari gundah yang tak sempat kusampaikan.

Dari rindu yang tak punya kaki

untuk berjalan sampai ke pelukmu.


Di dalamnya,

kutulis bagaimana tatapanmu

membuat hari-hariku lebih hidup dari biasanya.

Kuceritakan tentang degup yang selalu berubah ritme

setiap aku melihatmu dari kejauhan.


Tapi surat itu tak pernah kukirim.

Bukan karena tak sempat,

tapi karena aku sadar—

ada rasa yang cukup tumbuh dalam sunyi.

Ada cinta yang hanya ingin melihatmu bahagia,

bukan memilikinya.


Surat itu kusimpan,

bersama mimpi-mimpi kecil yang kugoreskan diam-diam.

Mungkin suatu hari akan kau temukan,

atau mungkin tidak pernah.

Dan itu tak mengapa.


Karena yang kutulis bukan untuk dibaca,

tapi untuk melegakan dada—

bahwa mencintaimu

pernah membuatku merasa cukup,

meski hanya lewat kata

yang tak pernah sampai padamu.

Tekhnologi batin menikmati dunia

 Oleh: Fian Amrullah Darmawan 


Manusia,

sebelum nafasnya terpisah dari raga,

andai ia punya satu gunung emas,

ia masih menginginkan dua.


Tak pernah cukup,

karena dunia bukan untuk dipuaskan—

melainkan untuk disyukuri,

dinikmati dengan hati yang mengerti.


Jika engkau punya banyak harta,

jangan biarkan hatimu tertawan.

Nikmati ia dengan berbagi,

sebab tangan yang memberi lebih tinggi dari tangan yang menerima.


Dan jika yang kau punya hanya sedikit,

temukan hikmah dalam setiap remah.

Sebab bahagia bukan soal jumlah,

tapi kedalaman rasa syukur yang tak pernah patah.


Inilah teknologi batin:

seni menikmati dunia dengan jiwa yang merdeka.

Melihat dunia,

namun tak tenggelam dalam cahayanya yang semu.


Jalan para pecinta bukan menolak dunia,

tapi memposisikannya sebagai alat—

untuk mencintai Allah,

dan memberi

 makna pada setiap langkah.


Rabu, 21 Mei 2025

Dalam Senyummu, Aku Tenggelam

 oleh Fian Amrullah Darmawan




Senyummu...

tidak panjang,

tidak juga dibuat-buat,

tapi cukup untuk membuat hariku utuh,

meski tanpa satu kata pun darimu.


Ada cahaya dalam lengkung bibirmu,

yang membuat mataku lupa berkedip,

dan dadaku lupa bernapas sejenak.

Seolah semesta merestui detik itu

hanya untuk aku memandangi

tanpa kau sadari.


Dalam senyummu,

aku tenggelam pelan-pelan

seperti ombak kecil yang memeluk pasir

tanpa membuat ribut.


Aku tahu,

senyummu bukan untukku saja,

mungkin untuk dunia yang kau sapa setiap pagi.

Tapi biarlah aku merasa,

bahwa sekali saja—

senyum itu mampir karena aku lewat.


Tak perlu balas menatap,

tak usah tahu aku di sini.

Cukup izinkan aku mencintai

dari tempat yang tak mengganggu langkahmu,

dari hati yang tak pernah meminta,

hanya merindu…

dalam diam yang dalam.

Selasa, 20 Mei 2025

Jatuh Bangun di Ujung Dunia

 Oleh: Fian Amrullah Darmawan 



Sepuluh tahun aku berlari,

mengejar dunia yang terus pergi.

Terpeleset di ambisi sendiri,

ditertawakan oleh ilusi.


Sudah di dunia —

namun tetap mengejarnya,

bagai bayangan yang tak pernah bisa kurengkuh

meski kutempuh siang dan malam tanpa lelah.


Dunia tak salah,

akulah yang lupa arah.

Akhirat menanti di ujung jalan,

tapi langkahku condong ke fatamorgana harapan.


Lalu Allah berfirman,

dalam lembut suara langit:

“Carilah akhirat dengan apa yang telah diberikan padamu,

jangan lupakan nasibmu di dunia...”


Tersentak aku dalam sunyi,

rupanya hidup bukan hanya mimpi.

Akhirat adalah tujuan hakiki,

namun dunia adalah ladang untuk mengabdi.


Kini kuatur kembali langkahku,

bukan untuk meninggalkan dunia,

tapi menundukkannya—

agar jadi jembatan menuju surga.

Ada Rasa yang Tak Punya Nyali oleh Fian Amrullah Darmawan

 


Ada rasa yang tumbuh,

tapi tak pernah berani menampakkan wujud.

Ia hanya duduk di sudut dada,

menanti waktu yang entah kapan datangnya.


Rasa ini...

tidak lantang,

tidak juga penakut,

tapi ia selalu kalah

ketika niat ingin mendekat

bertemu dengan takut yang lebih dulu menetap.


Bukan karena kau terlalu tinggi,

tapi karena aku terlalu kecil dalam menilai diri.

Bukan karena kau tak mungkin kucinta,

tapi karena aku tak punya cukup nyali untuk menyampaikannya.


Aku hanya lelaki biasa,

yang masih menghitung sisa uang setelah beli kopi sachet,

yang belum bisa membawamu ke restoran,

apalagi bicara masa depan.


Jadi kupilih diam.

Karena diam tak menyakitkan siapa pun.

Kupilih diam,

karena hanya dalam diam aku bisa menjagamu

tanpa membuatmu menjauh.


Dan kalaupun harus selamanya begini,

aku rela—

asal kau tet

ap bahagia.

Senin, 19 Mei 2025

Fatamorgana

 Sepuluh tahun terakhir,

aku jatuh bangun mengejar dunia.

Namun dunia malah menertawakanku —

sudah di dunia, tapi masih saja mengejarnya."


Harusnya aku mengejar akhirat.

Sebab Allah telah berfirman:

"Wa maa ataqallah darul aakhirah,

wa laa tansa nashiibaka minad-dun-yaa."

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu,

(kebahagiaan) negeri akhirat;

dan janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. (QS. Al-Qashash: 77)

Saat Nama Itu Jadi Doa oleh Fian Amrullah Darmawan

 


Awalnya hanya kagum,

sekilas pandang yang kuanggap akan hilang.

Namun nyatanya,

namamu menetap lebih lama

dari yang seharusnya.


Tak ada perkenalan,

tak ada obrolan,

hanya jarak dan waktu

yang tak henti menuliskanmu

di benak yang tak pernah selesai bertanya:

“Kenapa harus dia?”


Aku takut bicara,

karena suaraku mungkin tak akan kau dengar.

Aku takut berharap,

karena langkahku mungkin tak cukup megah untuk bersanding denganmu.


Jadi kutitipkan saja namamu

pada tiap sujud panjang dan pagi yang tenang.

Kuhafalkan wajahmu dalam doa,

bukan agar kau jadi milikku,

tapi agar hatiku tetap tenang

meski kau tak pernah tahu namaku.


Jika suatu hari semesta mengizinkan,

biarlah doa itu menjelma pertemuan.

Namun jika tidak,

biarlah ia tetap tinggal di langit

sebagai cinta yang tak pernah menuntut,

hanya menitipkan namamu

pada Tuhan yang tahu segalanya.

Minggu, 18 Mei 2025

Tatapan yang Tak Pernah Kusapa oleh Fian Amrullah Darmawan

 


Aku melihatmu,

di antara ramai yang tak pernah kuakrabi,

kau seperti senja yang datang tanpa janji,

tapi selalu kutunggu, setiap hari.


Tatapanmu—tenang,

tapi cukup membuat langkahku gamang.

Ingin menyapa,

namun bibirku lebih memilih diam

karena takut,

sapaan itu tak kau simpan.


Setiap kali kau lewat,

ada getar yang tak pernah selesai kutafsirkan.

Aku bukan siapa-siapa dalam hidupmu,

hanya lelaki biasa

yang menaruh harapan dalam diam—

pada seseorang yang mungkin

tak pernah menyadari keberadaanku.


Dan begitulah aku mencintaimu:

dari jauh,

dalam diam,

dengan doa

yang tak pernah berharap balasan,

hanya agar Tuhan menjag

amu…

meski bukan bersamaku.


Sabtu, 17 Mei 2025

Di Antara Delapan Miliar" (Bagian dari Sajak Cintaku)

 

"

Di antara delapan miliar jiwa yang menghirup napas-Nya,

dan separuhnya adalah wanita dengan ragam rupa dan cerita,

aku justru jatuh pada satu nama yang sederhana—namamu.

Bukan karena paling indah,

tapi karena hatiku paling tenang saat menyebutnya.


Ini bukan kebetulan,

ini adalah garis yang Tuhan torehkan sejak semesta belum tercipta.

Kecenderungan mencintaimu bukan sekadar rasa,

ia adalah anugerah yang membuatku lebih mengenal makna cinta dari-Nya.


Aku mencintaimu dalam takdir yang kuterima dengan lapang,

dalam ikhlas yang kutanam dari hari ke hari.

Jika seluruh dunia berkata itu gila,

biarlah—karena hanya Tuhan dan aku yang tahu,

betapa mencintaimu adalah caraku bersyukur pada-Nya.

"Kupilih Engkau dalam Doaku" (Bagian dari Sajak Cintaku)

 


Kupilih engkau bukan karena dunia menjanjikan kita kisah manis,

tapi karena dalam sepi, aku menemukan namamu bersama dzikirku.

Aku tak tahu bagaimana takdir menulis akhir kita,

tapi aku tahu, awal ini kutulis dengan keyakinan, bukan keraguan.


Bukan harta yang kupinta dalam cinta,

tapi pasangan dalam langkah menuju surga.

Yang menggenggam tanganku saat iman mulai goyah,

yang mengingatkanku saat dunia terlalu ramah.


Kita mungkin tak selalu sepakat,

namun semoga selalu sepakat dalam sujud dan niat.

Karena cinta yang besar bukan tentang seberapa kuat memeluk,

tapi seberapa ikhlas melepaskan ego agar tetap bertaut.

Jumat, 16 Mei 2025

Litaskunu Ilaiha




Maha Suci Dia yang menitipkan rindu,

di antara dua jiwa yang saling mencari arah pulang.

Cinta ini bukan hanya degup dan kata,

tapi ikrar sunyi yang disematkan di langit ketika sujud merunduk.


Mawaddah mengalir dalam peluh perjuangan,

rahmah tumbuh di sela tangis dan tawa perjalanan.

Bukan indah tanpa luka,

tapi indah karena luka pun dijahit bersama.


Sakinah bukan hanya diam di tenang,

ia seperti laut—kadang bergelora, kadang tenang.

Namun selalu setia pada pantai tempat ia menepi,

tempat jiwa tak lelah untuk kembali.


Salah paham adalah tamu dalam rumah cinta,

namun ketika ego ditundukkan, ia tak akan berlama-lama.

Sebab cinta sejati bukan yang tak bertengkar,

tapi yang t

ak berhenti memilih untuk tetap bersama.


Kamis, 15 Mei 2025

Kepada Dia yang Sangat Aku Cintai

Bagian awal dari Antologi puisi 1-30


Wahai engkau yang kucintai dalam diam,

Hatiku lemah, tak bertuan,

Tiada desir untuk meminta lebih,

Kecuali melihat senyummu—bahagia, utuh, dan bersih.


Dalam sunyi aku berseru lirih,

“Berapa mahar untuk menghalalkan kasih?”

Sedang aku, lelaki biasa,

Yang harta dan takdirnya belum juga istimewa.


Kujenguk layar anjungan tunai,

Angka di sana: enam belas juta lebih sedikit,

Seketika aku kelu,

Ke mana arah percakapan setelah ini harus kuayun halu?


Ingin kuajak bicara tentang masa depan,

Tapi bibirku disekat oleh keraguan.

Ingin kutawarkan hidup sederhana,

Namun takut cintamu butuh lebih dari doa.


Tapi dengarlah, kasih,

Jika cinta adalah sabar dalam menanti,

Adalah tekun dalam memberi,

Maka aku akan terus berjalan—meski tanpa janji pasti.


Karena bahagiaku adalah melihatmu tersenyum,

Meski hanya dari kejauhan,

Dan mencintaimu adalah restu yang tak perlu diumumkan,

Kecuali kepada Tuhan.

Rabu, 14 Mei 2025

Persembahan untuk lidah hawwiyah

 


"Lidah Hawiyah"


Bara itu menyala dalam sunyi,

Menjilat batang kayu dengan lidah api.

Asap naik, membawa getir,

Seperti dosa yang dulu kita biarkan mengalir.


Inilah lidah Hawiyah—tak bersajak, tak bernada,

Namun tiap jilatan, adalah murka yang nyata.

Jika air mata tak cukup memadamkannya,

Apa yang bisa? Jika bukan taubat yang bersisa.


Dunia kadang seperti tungku yang panas,

Kita terlena, menari di atas bara tanpa batas.

Namun kelak, jika tak kembali,

Kita jatuh ke dalam peluknya, abadi.


Jangan biarkan api ini menjadi akhir,

Padamkanlah dengan dzikir yang 

tak berakhir.

Karena neraka bukan hanya dongeng tua,

Ia nyata, menanti jiwa-jiwa yang lupa.


Menuju Titik Temaram



Jiwaku penuh semangat mempelajari arah mata angin,

Menuju titik temaram yang tak terjangkau oleh peta.

Langkahku tertatih dalam diam yang dingin,

Namun rinduku hangat, menyalakan asa yang nyata.


Aku membaca langit, memaknai awan,

Setiap arah mengingatkan pada matamu yang tenang.

Dalam desir angin, ada namamu yang perlahan,

Hadir seperti doa yang tak pernah hilang.


Tak kupinta jalan yang mudah,

Hanya arah yang membawaku pulang.

Pulang, bukan pada rumah atau tempat,

Tapi pada dirimu—yang menjadi arah sejak lama.


Di titik temaram itu, kutemui cahaya,

Bukan dari mentari, tapi dari tatapmu yang setia.

Engkaulah kiblat bagi hatiku yang lama tersesat,

Penunjuk arah dalam cinta yang tak lagi berat.

Lillahi robbil alamin


 Segalanya untuk tuhan semesta alam 


Inna sholati...

getar pertama dari lidah yang resah,

menggema dalam sunyi, menembus batas-batas dunia.

Bukan hanya gerakan tubuh,

tapi perjanjian antara jiwa dan Sang Pencipta.


Wanusuki...

ibadahku bukan sekadar ritual,

melainkan denyut dalam nadi yang tak henti menyebut nama-Nya.

Setiap nafasku,

setiap kerja keras dan lelahku,

kuserahkan pada-Nya—karena hanya kepada-Nya

segala sujud layak tertuju.


Wamahyaya...

hidup ini bukan milikku,

aku hanya pengembara yang diberi waktu.

Langit adalah atap perlindunganku,

dan bumi adalah tempatku mengabdi.

Langkah-langkah kecilku,

aku titipkan kepada takdir,

karena aku tahu:

yang menggenggam masa depan adalah Tuhan, bukan keinginanku.


Wamamati...

kematian bukan momok, tapi pintu pulang.

Jika hidup adalah ladang amal,

maka mati adalah panen abadi.

Aku tak gentar,

karena jiwa yang pasrah tahu ke mana harus kembali.


Kepada-Mu, wahai Robbul ‘Alamin,

aku titipkan tangis dan tawa,

sedih dan bahagia,

gagal dan berhasilku.

Tak ada yang sia-sia dalam takdir-Mu,

tak ada yang tertukar dalam kasih-Mu.


Jika dunia menyesatkan,

Engkaulah arah.

Jika hidup mengaburkan,

Engkaulah cahaya.

Jika aku rapuh,

Engkaulah kekuatan yang tak pernah usang.


Jadi biarlah aku hidup, dan mati,

dalam genggaman-Mu saja.

Dengan hati yang ridha,

dengan iman yang t

eguh,

dengan cinta yang tak ingin berpisah dari-Mu.


Segalanya—Lillahi Robbil ‘Alamin.


Selasa, 13 Mei 2025

Energi Quantum manajemen Qolbu

 

Hari ini aku penuh semangat,

Dengan energi baru daya juang terpahat.

Mentari tak ragu menyapa wajah,

Langkahku tegap, tak lagi lelah.


Kubungkus resah dalam doa,

Kubakar malas dengan asa.

Tak ada yang mampu menghalang,

Jika tekad ini terus menjulang.


Langit biru jadi saksi,

Bahwa aku takkan berhenti.

Karena hidup ini bukan hanya tentang bertahan,

Tapi tentang melangkah—dan menang perlahan.

Senin, 12 Mei 2025

Setelah 108 Purnama

 


Telah kutempuh malam demi malam,

seribu langkah dalam senyap,

mengusung harap di punggung luka,

menyulam masa depan dengan benang doa.


Aku datang padamu,

bukan hanya membawa cinta,

tapi juga peluh dan cita,

yang kusematkan pada detak waktu

dan keteguhan seorang pria

yang belum mapan, tapi tak pernah goyah.


Ibumu menatapku dengan tanya,

tentang modal, tentang arah.

Kupaparkan kerja, niat, dan langit yang kutatap—

sebagai saksi, bahwa aku bukan pengkhayal,

aku pejuang yang diam-diam tumbuh.


Namun pagi ini,

kau kirimkan kalimat penutup yang dingin:

“Kita berbeda visi dan misi.”

Luruhlah satu musim yang kutanam,

gugur sebelum sempat berbunga.


Tapi aku tak menyesal.

Cinta yang tulus tak pernah rugi.

Dan perjuangan yang benar tak pernah usang.

Aku akan tetap berjalan,

menjadi versi terbaik dari diriku,

bukan agar dikenang—

tapi agar layak dirindukan.


Jika suatu saat kau menoleh,

dan melihat kembali ke jalan ini,

ingatlah:

pernah ada lelaki yang datang dengan cinta dan data juang"

Minggu, 11 Mei 2025

Penantian di Alam Barzakh


Aku kini berada

di antara dua dunia—

bukan lagi fana,

belum juga kekal.

Inilah barzakh,

sunyi yang tak terlukiskan,

sepi yang tak bisa kau dengar,

tapi akan kau tempuh,

sebagaimana aku kini menunggu.


Tak ada malam,

tak ada siang,

hanya detik yang tak bisa kuhitung,

menanti panggilan tiupan sangkakala,

menuju perhitungan yang pasti.


Tubuhku telah kembali ke tanah,

tapi ruh ini masih menyimpan

getar doa orang-orang tercinta.

Setiap fatihah yang mengalir,

menjadi cahaya dalam gelap ini.

Setiap amal yang kutanam,

menjadi naungan dalam diam ini.


Aku tak tahu berapa lama,

tapi aku tahu:

janji Allah pasti benar.

Jika aku disayangi-Nya,

tempat ini akan jadi taman.

Jika aku lalai,

maka sempitlah liang ini

dengan sesal yang tak bisa ditebus.


Wahai engkau yang masih hidup,

jangan lupakan kami yang menunggu.

Karena doa dan amal darimu

adalah angin segar


di alam yang tak lagi mengenal usaha.


Kesaksian Jiwa di Hari Kembali

 


Sebelum aku mengenal dunia,

sebelum mata ini terbuka,

sebelum lidah ini bisa mengeja nama,

aku telah bersaksi

di hadapan Rabb-ku:

"Engkau Tuhanku, aku bersaksi."


Janji itu di langit azali

diukir dalam nurani,

disaksikan para malaikat

dan dicatat dalam kitab yang tak mungkin dilupa.


Lalu aku lahir,

dan dunia menaburkan kabut—

aku lupa.


Lupa akan janji itu.

Lupa bahwa semua yang kutempuh

telah dituliskan,

dan aku telah setuju.


Tapi waktu berjalan,

dan luka mengingatkanku.

Kematian menegurku.

Kesedihan membangunkanku.


Dan hari itu pun tiba—

saat tubuhku membisu,

tanah menjadi pelukan terakhir,

dan ruhku kembali

ke tempat asalnya.


Di hadapan Rabb-ku

aku tiada bisa berdalih.

Jiwaku berkata:

"Ya Rabbi, aku telah tahu,

aku pernah bersaksi.

Segala yang terjadi,

bukan tanpa izin-Mu.

Aku hamba yang lupa,

tapi kini aku kembali."

Sabtu, 10 Mei 2025

Hamba dan Takdir


Aku pernah bertanya:

Mengapa hidup tak selalu berjalan

seperti yang aku minta?


Tapi kini kutahu—

aku bukan penulis,

aku hanya pembaca

dari takdir yang sudah tercatat

sebelum aku dilahirkan.


Segala yang hilang dariku

bukan karena lupa,

tapi karena Allah sedang mengganti.

Segala yang datang padaku

bukan karena aku pantas,

tapi karena Allah sedang memberi.


Aku hamba,

dan hamba itu tidak memiliki—

bahkan dirinya sendiri.

Yang ada padaku hanyalah amanah,

yang bisa diambil kapan saja

tanpa pemberitahuan.


Maka aku belajar diam.

Menerima bukan berarti menyerah,

tapi pasrah pada kehendak

yang pasti lebih bijak

dari segala rencana manusia.


Takdir bukan musuh,

ia adalah undangan

untuk bersujud lebih dalam.

Dan dalam sujud itulah,

aku merasa paling hidup—

karena aku tahu,

aku bukan siapa-siapa,

kecuali seorang hamba

yang sedang pulang

ke jalan Tuhan-Nya.

Hijrah dari Dunia ke Akhirat


Wahai dunia,

aku pernah mencintaimu.

Pernah kupeluk segala gemerlapmu,

dengan mata yang penuh harap

dan dada yang sempit oleh ambisi.


Tapi hari ini,

aku tak lagi terpikat.

Karena kutahu—

engkau bukan rumah,

engkau hanya lorong gelap

menuju cahaya.


Sayyidina Ali telah berkata:

"Aku telah menceraikanmu tiga kali..."

dan aku pun kini ingin menceraikanmu,

dengan air mata kesadaran,

dengan luka kehilangan,

dengan kelelahan mengejar bayangmu

yang selalu kabur dari genggaman.


Hijrah bukan berpindah tempat—

tapi berpindah hati.

Dari mencintai yang fana

kepada Yang Kekal.

Dari memburu yang palsu

menuju kebenaran yang abadi.


Wahai dunia,

aku tak lagi takut kehilanganmu,

karena yang aku cari sekarang

adalah kedekatan dengan Rabb-ku,

tempat segala rasa bermuara.


Dan saat tubuh ini

tak lagi mampu bersujud,

semog

a ruh ini telah berada

di jalan pulang.

Pertolongan sang kekasih

 Syafaat Sang Kekasih



Kala dunia terasa sunyi

dan tak satu pun hati bisa kupeluk,

aku memejam

dan memanggil namamu,

Ya Rasulullah.


Engkau tak pernah kutemui dalam dunia,

namun namamu

selalu jadi pelipur lara dalam dada.


Dalam malam panjang,

aku berdoa—bukan hanya agar hidupku lapang,

tapi agar engkau

mengenal wajahku

di hari di mana semua wajah tertunduk.


Aku malu,

karena cinta ini kadang retak,

sholawatku tak setia,

air mataku lebih banyak

untuk dunia daripada akhirat.


Tapi aku yakin—

engkau kekasih yang tak berpaling,

yang akan menanti

siapa pun yang mencintaimu

dengan hati yang menganga rindu.


Ya Rasulullah,

di hari di mana tak ada naungan

kecuali kasih Tuhan,

izinkan aku dalam barisan itu:

yang engkau jamah dengan syafaat,

yang engkau peluk dengan doa,

yang engkau sambut

dengan senyuman yang

menghapus seluruh duka dunia.


Aku mencintaimu

karena Allah mencintaimu.

Dan karena itu,

aku berharap engkau mencintaiku—

sebagaimana engkau mencintai umatmu

yang lemah, rapuh,

tapi tak pernah berhenti berharap

padamu.

Jumat, 09 Mei 2025

Mengikhlaskan dunia

 


Aku pernah memeluk dunia

seakan ia akan tinggal selamanya.

Kujaga dengan gigi dan kuku,

kuperjuangkan dengan peluh dan air mata.


Tapi dunia,

selalu punya cara untuk pergi—

ia tak pernah benar-benar tinggal,

hanya mampir lalu menoleh.


Dan akhirnya kutahu:

siapa yang mencintai dunia,

akan ditinggalkan olehnya.

Siapa yang mengejar dunia,

akan lelah dalam kesia-siaan.


Namun siapa yang mencintai

Rasul Sang Kekasih Allah,

maka dunia menjadi ringan—

karena tak ada beban

dalam cinta yang tulus.


Air mata pun berubah menjadi doa,

kehilangan menjadi jalan pulang.

Dan dunia,

yang dulu terasa menggenggamku,

kini kuletakkan perlahan

di atas telapak takdir.


Aku tak lagi menaruh hati

pada yang fana,

karena cinta sejati

ada pada yang membawa syafaat—

Muham

mad,

sang penuntun menuju cahaya.

Titik hampa

 

Ada satu titik

yang tak bisa dijelaskan oleh kata,

tak bisa dibeli oleh waktu

atau dicapai oleh gelar.


Ia hadir

setelah seluruh ambisi luruh,

setelah kehilangan demi kehilangan

menelanjangi jiwa

dari pakaian dunia.


Titik itu—

bukan tempat kalah,

tapi ruang bening

di mana aku tak lagi ingin menjadi apa-apa

kecuali hamba.


Di sana,

aku tidak lagi mengejar

melainkan menerima.

Tidak lagi berteriak

melainkan diam.

Karena dalam diam itu

aku mendengar paling jelas:

"Cukuplah Aku bagi-Ku,

dan cukuplah Aku bagimu."


Tak semua orang mau sampai ke sini,

karena dunia mengajarkan:

“Jadilah besar.”

Tapi Tuhan memanggil:

“Jadilah tunduk.”


Dan di titik hampa itulah

jiwa menjadi jernih.

Melihat dunia—sementara.

Melihat kehilangan—perjalanan.

Melihat hidup—titipan.


Dan melihat Allah,

sebagai satu-sa

tunya

yang benar-benar tak pernah pergi.

Panggilan untuk jiwa yang tenang

 

Wahai jiwa—

yang tak lagi bertanya

kenapa hidup terasa berat,

karena engkau telah tahu:

berat itu titipan,

dan ringan pun titipan.


Engkau telah berdamai

dengan jalan panjang

yang penuh kehilangan,

bukan karena tak terasa luka,

tapi karena luka itu

telah kau jadikan jembatan

menuju rida.


"Yā ayyuhannafsul-muṭma’innah..."

Inilah panggilan

bagi jiwa yang sudah pulang

sebelum tubuhnya meninggal.

Yang hatinya telah kembali

ke pelukan Rabb

bahkan saat dunia masih bising.


"Irji’ī ilā rabbiki rāḍiyata mardhiyyah..."

Kembali bukan berarti selesai,

tapi menjadi satu

dengan kehendak-Nya—

seperti air yang tak lagi menolak gelombang,

seperti angin yang ridha berhembus

ke mana pun diperintah.


Tak semua dipanggil seperti ini.

Hanya yang menjadikan sabar

sebagai pelita,

dan ikhlas

sebagai kendaraan.


Dan untukmu—

yang menapaki jalan ini dengan cinta,

dalam luka dan diam,

bersiaplah:

"Fadkhulī fī ‘ibādī. Wadkhulī jannatī."

Ikhlas

 

Ikhlas bukan melepas karena terpaksa,

tapi karena percaya:

apa yang Allah pilihkan

lebih baik

dari apa yang kupinta dalam tangis.


Ia adalah seni menghapus "kenapa",

dan menggantinya dengan

"Karena Engkau, ya Allah..."


Ikhlas itu sunyi,

tanpa tepuk tangan,

tapi disaksikan langit.

Dan mungkin—

justru di situlah nilai tertingginya.

Rodiyatan Mardiyah

 

Rida

Aku pernah bertanya:

kenapa yang kucintai diambil lebih dulu?

Kenapa takdir terasa tak adil

dan air mata tak kunjung kering?


Lalu malam menjawab pelan:

bukan tentang kehilangan,

tapi tentang kepemilikan yang keliru.

Segalanya hanya titipan—

ayah, ibu, saudara, anak, dunia.

Dan Tuhan sedang mengambil

apa yang sejak awal memang milik-Nya.


Rida bukan berarti tak berduka,

tapi tahu di balik duka,

ada kasih yang lebih besar

dari yang mampu kupahami.


Rida adalah ketika doa tak lagi memohon

agar takdir diubah,

melainkan agar hati dikuatkan

untuk mencintai yang sudah ditetapkan.

Kamis, 08 Mei 2025

Nur dalam gelap duka

 Ada hari ketika matahari tak terasa hangat,

dan langit pun seperti enggan membuka tirainya.

Tangis mengalir tanpa sebab

yang bisa dijelaskan logika—

hanya karena seseorang

telah pulang lebih dahulu.


Namun justru di situlah,

seberkas cahaya menetes

bukan dari langit yang murung,

tapi dari ayat

yang pernah kau dengar dalam diam:

"Inna ma’al ‘usri yusrā."

—sesungguhnya, bersama kesulitan

selalu ada kemudahan.


Duka adalah malam panjang

tapi tidak abadi,

karena nur Tuhan

menyusup dari celah-celah luka,

memeluk hati yang hancur,

menguatkan tangan yang tak sanggup

menggenggam doa lagi.


Dan ketika semua meninggalkanmu

dengan kalimat: "Ikhlaskan..."

maka Wahyu datang

bukan sekadar kalimat penghibur,

tapi kekuatan yang nyata:

"Wa bashshirish shābirīn."

—berikan kabar gembira

bagi mereka yang sabar.


Bukan karena dukanya hilang,

tapi karena dalam duka itu,

kau menemukan Tuhan

lebih dekat

dari sebelumnya.

Rabu, 07 Mei 2025

Cahaya

Meneguhkan pelita hati
Menyerap cahaya cinta sejati
Dari pemilik semesta 

Ayat ayat Kematian

 Kullu nafsin dzā`iqatul-maut..."

Semua yang bernyawa
telah menandatangani takdirnya sendiri—
sebuah janji sunyi
dengan kematian yang pasti.

Tak perlu kau cari,
karena ia tahu alamatmu.
Bahkan jika kau berlari
melewati dinding-dinding dunia,
ia menunggumu
di balik kelopak subuh,
di antara nafas terakhir
yang tak sempat diucap salam.

"Qul innal-mautalladzī tafirrūna min-hu..."
Kau bisa memunggungi waktu,
tapi maut adalah janji
yang mengejarmu tanpa lelah,
karena ia tak datang dengan amarah
tapi dengan perintah.

"Allāhu yatawaffal-anfusa ḥīna mauti-hā..."
Dan jika malam menidurkanmu,
itulah latihan kematian yang lembut—
karena Tuhan bisa saja
tidak mengembalikan ruhmu
di pagi yang kau harapkan.

Maka,
jangan biarkan hari berlalu
tanpa mengingat tujuanmu:
"tsumma ilainā turja'ūn."
—dan kepada-Ku kalian akan kembali.

Selasa, 06 Mei 2025

Diantara dua dunia

 Barzakh: Titian Sunyi di Antara Dua Dunia


Aku telah tidur dalam tanah Barzakh

tapi jiwaku tidak hilang.

Ia menyeberang ke negeri sunyi,

tempat di mana waktu tidak berjalan

seperti di dunia.


Inilah barzakh—

bukan liang sempit yang kau gali,

tapi ruang tak terlihat

di mana ruh menanti,

dalam ketenangan

atau dalam kesakitan

yang hanya Tuhan dan para malaikat tahu.


Dunia telah kulepas,

ambisi, nama, harta, cinta fana.

Kini aku hanyalah saksi atas diriku sendiri.

Apa yang pernah kutanam

kini tumbuh tanpa bisa kuubah.


Barzakh adalah cermin,

yang memperlihatkan hakikat

bukan penampilan.

Ia bukan sekadar kuburan,

tapi sekolah akhir

sebelum kelulusan atau kehancuran.


Dan jika kalian datang menziarahi,

bawalah doa yang jujur,

bukan bunga yang cepat layu.

Karena kami yang telah berpulang

masih bisa mencium harum keikhlasan

dan mendengar salam yang penuh cinta.


Di sinilah aku—

bukan lenyap,

hanya berpindah,

menunggu giliran kalian

menyeberang

ke negeri yang sama

yang sunyi,

namun penuh pelajaran.

Senin, 05 Mei 2025

Ziarah subuh ke 7


Gundukan tanah,
Yang kemarin basah dan lembab
Disiram hujan air mata dan tabu ribuan kembang setaman
Kini mulai mengering 
Namun tidak dengan rindu

Langkah langkah pagi
Mengantar doa dari hati yang patah
Bibir-bibit basah handai taulan 
Masih melantunkan nama yang telah kembali pulang.

Angin subuh membawa harum bunga
Dan kenangan yang tak lekang
Seolah bumi sendiri ikut merunduk
Menghormati jiwa yang telah tenang 
Diantara doa dan diam,

Aku kembali menyadari
Kematian bukan Ahir 
Tapi jeda dalam pelukan tuhan

Yang pergi tidak hilang
Iya hanya berpindah tempat
Menjadi cahaya dalam sunyi
Dan hikmah dalam luka

Ziarah ini bukan sekedar ritual
Tapi pertemuan tanpa suara
Antara jiwa yang masih mencari 
Dan jiwa yang telah mengerti segalanya.

Memiliki kehilangan

 Aku Tak Memiliki Apa-apa 

Pernah aku menangis karena kehilangan,

karena dunia merenggut apa yang kupeluk erat:

ayah, ibu, adik, anak,

rencana, harapan, dan segala yang kupanggil “milikku”.


Aku mencakar langit dengan tanya,

mengapa diambil sesuatu yang begitu kucintai?

Mengapa hidup tak memberi jaminan

atas apa yang telah kutanam dengan doa?


Namun perlahan aku tersadar—

aku tak pernah benar-benar memiliki.

Segalanya hanyalah titipan,

dan tugas utamaku adalah menjaga,

bukan menggenggam.


Tuhan menitipiku jiwa-jiwa mulia

agar aku belajar mencintai tanpa mengikat,

merawat tanpa merasa berhak,

menangis tanpa memaki takdir.


Sebab ketika merasa memiliki,

kehilangan adalah luka.

Tapi ketika merasa dititipi,

kehilangan adalah pengembalian.


Dan kini, saat kutatap langit

dengan mata basah namun hati lapang,

aku tahu:

tak ada yang benar-benar hilang

bagi jiwa yang rela melepas

demi cinta yang lebih kekal.

Ziarah subuh untuk adikku

 Hari ke 6

Semburat bang-bang wetan,

cahaya malu-malu menjingga

dari ufuk timur yang perlahan menyapa,

menggugah bumi dari lelapnya.


Kami melangkah pelan

di antara sejuk embun dan bayang rindu,

menuju tempat persemayamanmu,

Windy putri Wiratna,

dalam sunyi yang tak pernah benar-benar sepi.


Dengan suara lirih,

kami lantunkan ayat-ayat cinta dari langit—

Surat Yasin,

sebagai hadiah terindah

untuk perjalanan abadi yang sedang kaulalui.


Di bawah langit yang masih pucat,

doa kami menjelma cahaya,

mencoba menembus alam yang tak lagi bisa disentuh,

kecuali dengan iman dan air mata.

Hari ke 5

 Hari kelima,

langit masih mendung dalam dadaku.

Suara adzan pun terasa lirih,

seperti rindu yang menggigil di balik tulang.


Aku masih bangun pagi dengan ilusi

kau akan duduk di meja makan,

tersenyum sambil minta tambah nasi.

Tapi nyatanya hanya sunyi

yang menyendokkan luka ke piring jiwa.


Ibuku belum berhenti menatap pintu,

seakan kau bisa pulang dari alam sana.

Ayah…

masih diam seribu doa,

menyeka air mata tanpa isak.


Hari kelima,

kami masih belajar menerima,

bahwa surga tak menunggu usia,

dan kematian tak pernah izin dulu.


Tapi aku percaya,

kau kini tenang dalam cahaya,

bermain di taman Tuhan

dengan baju putih dan senyum lega.


Doa kami tak akan putus, dik,

karena cinta

tak pernah pun

ya batas ruang

ataupun waktu.

Minggu, 04 Mei 2025

Fatwa langit 10

 Di Mana Tuhan Menyimpan Air Mata Kita


Pernah aku menangis tanpa suara,

di balik tembok malam

yang hanya ditemani remang cahaya sajadah.


Tak ada yang tahu,

tak ada yang peduli.

Tangis itu jatuh seperti hujan di laut—

tenang di permukaan,

tapi badai di kedalaman.


Lalu aku bertanya:

ke mana perginya air mata itu?

Apakah ia sia-sia,

hilang begitu saja?


Namun hatiku pelan-pelan dijawab oleh hening:

Tuhan menyimpan setiap tetesnya.

Bukan di lembar sejarah,

bukan di ruang penghakiman,

melainkan di sisi-Nya—

sebagai bukti cinta,

sebagai tanda rindu,

sebagai senjata kesabaran.


Tak satu pun air mata hamba-Nya yang hilang,

semuanya dihitung,

dicatat,

dan diganti dengan rahmat yang datang

di waktu yang paling tepat.


Karena bagi Tuhan,

air mata bukan kelemahan—

melainkan bukti,

bahwa kita masih berharap kepada-Nya.

Fatwa langit 9

 Dalam Pelukan yang Tak Terlihat


Pernah suatu masa aku merasa sendiri,

saat orang-orang pergi,

saat dunia menjauh,

saat namaku tak lagi dipanggil dengan hangat.


Aku duduk di sudut sunyi,

mencari bahu yang tak ada,

menanti peluk yang tak datang.


Namun entah bagaimana,

aku tetap bisa bertahan.

Air mataku jatuh,

tapi jiwaku tidak ikut runtuh.

Hatiku retak,

tapi tidak hancur sepenuhnya.


Dan di titik itu aku sadar:

ada pelukan yang tak terlihat,

tapi begitu nyata menenangkan.


Tuhan tak selalu datang sebagai suara,

kadang Ia hadir sebagai kekuatan

yang tak tahu dari mana datangnya,

sebagai keteguhan yang melebihi nalar,

sebagai pelukan

yang hanya bisa dirasakan oleh jiwa.


Dalam pelukan yang tak terlihat,

aku akhirnya tahu:

bahwa aku tak pernah benar-benar sendiri.

Ada kasih yang tak berwujud,

tapi selalu ada—

menjagaku dengan rahmat yang tanpa suara.

Fatwa langit 8

 Hening adalah Jawaban Terindah 


tentang diam yang tak pernah kosong:


Hening adalah Jawaban Terindah

Pernah aku menunggu jawaban dari langit

dengan gelisah yang tak kunjung reda.

Kupikir Tuhan akan bicara,

dengan isyarat, mimpi, atau peristiwa.

Kupikir suara-Nya akan memecah sunyi

dan menuntunku lewat terang.


Tapi hari-hari berlalu

dengan diam yang menyeluruh.

Tak ada tanda,

tak ada bisikan,

hanya hening yang merayap

ke seluruh ruang jiwaku.


Dan di situlah aku mulai resah.

Apakah aku ditinggal?

Apakah aku tak layak didengar?

Namun pelan-pelan ,

Aku temukan damai

Bukan dalam suara

Tapi dalam diamnya yang memeluk

Karena hening bukan berarti hampa

Iya adalah cara Tuhan menenangkan

Bukan menjauhkan

Dalam hening aku mendengar diriku sendiri

Lebih jujur,lebih lapang,lebih berani

Ternyata,

Hening adalah jawaban terindah

Karena didalamnya ada pelajaran

Yang tak bisa diajarkan kata-kata.

Fatwa langit 7

 dalam nafas kepasrahan yang penuh makna:


Sujud yang Tak Ditukar Jawaban


Aku datang dalam malam,

membawa segala luka dan harapan,

membentangkan sajadah bukan sekadar alas,

tapi pelabuhan dari hidup yang nyaris karam.


Kumulai sujudku

dengan harap yang membuncah—

semoga Tuhan menoleh,

semoga Dia menjawab.


Namun malam demi malam berlalu,

dan dunia masih tetap sama.

Pintaku belum datang,

doaku belum terwujud.


Dulu aku kecewa,

kenapa sujudku sunyi?

Kenapa tak ada balasan?


Tapi kini aku sadar—

Tuhan tidak pernah berbisnis dengan cinta.

Ia tak menukar sujud dengan jawaban,

karena sujud bukan alat tukar,

melainkan jalan pulang.


Dan mungkin,

saat aku sujud dalam tangis,

Tuhan justru sedang memeluk jiwaku

tanpa perlu berkata apa-apa.


Sujud yang tak ditukar jawaban,

justru jawaban itu sendiri:

bahwa cukup dengan hadirku di hadapan-Nya,

itu sudah cukup.

Fatwa langit 6

Rencana yang Tertunda untuk Selamanya


Ada rencana yang kubuat dengan sungguh-sungguh—

kupanjatkan dalam doa,

kutulis dalam agenda,

kubagi dengan orang-orang terdekat

seolah dunia pasti ikut setuju.


Aku yakin waktunya akan tiba,

aku percaya jalannya akan terbuka.


Tapi rencana itu tak pernah jadi nyata.

Hari yang dinanti tak pernah datang,

dan langkah yang disiapkan tak pernah bisa melangkah.


Awalnya aku kecewa.

Merasa gagal, ditinggal, dihukum takdir.

Tapi waktu mengajari dengan sabar:

ada rencana yang ditunda

bukan karena tak penting,

tapi karena Tuhan tahu—

itu akan merusak diriku

jika diteruskan.


Tertundanya adalah bentuk perlindungan,

tertundanya adalah jawaban doa

yang dikabulkan dalam bentuk lain:

keselamatan.


Kini aku mengerti,

tak semua rencana yang batal

adalah kekalahan.

Sebagian adalah kemenangan

yang tak diumumkan di depan umum.


Rencana yang tertunda selamanya,

adalah jalan y

ang Tuhan lipat

agar aku tak tersesat.

Sabtu, 03 Mei 2025

Fatwa langit 5

 Aku, Takdir, dan Titik Koma



Pernah aku ingin meletakkan titik,

menutup kalimat hidup

yang terasa terlalu berat dibaca.


Aku kira ini akhir,

aku kira tak ada lagi halaman selanjutnya.

Karena apa yang kutulis

hanya luka,

kekosongan,

dan kehilangan.


Tapi Tuhan meletakkan titik koma.

Bukan titik.

Tanda kecil yang nyaris tak terlihat,

namun cukup kuat untuk berkata:

“Kau belum selesai.”


Ia menyelipkan nafas baru

di antara sisa air mata,

membiarkan aku istirahat sejenak

tanpa harus menyerah sepenuhnya.


Dan di situ aku belajar:

bahwa takdir bukan selalu tentang akhir,

kadang ia hanya jeda—

untuk memberi ruang pada jiwa

yang hampir patah

untuk tumbuh lagi.


Titik koma itu adalah kasih-Nya,

yang tahu kapan aku butuh rehat,

bukan selamat tinggal.

Fatwa langit 4

 Tuhan yang Lebih Tahu


Aku pernah marah pada takdir,

menuduh semesta terlalu kejam

karena merenggut apa yang paling kupinta

di saat aku sudah menyerahkannya dalam doa.


Aku bertanya—

mengapa bukan aku yang disembuhkan?

mengapa bukan dia yang dipertemukan?

mengapa hidup memilih luka padahal aku telah taat?


Tapi di balik tanya itu,

ada sunyi yang pelan-pelan menjawab:

Tuhan lebih tahu.

Tentang yang tak kau lihat,

tentang bahaya di balik keinginan,

tentang hati yang terlalu rapuh untuk bahagia yang kau kira indah.


Ternyata,

Ia menyelamatkanku dari sesuatu

yang tidak akan kupernah kuat menjalaninya.


Dan kini aku tahu:

tak semua yang kutangisi adalah kehilangan.

Sebagian adalah perlindungan

yang belum sempat kukenali sebagai cinta.


Tuhan memang tidak selalu menjelaskan,

tapi selalu menyelamatkan

dengan caranya sendiri.


Kita lanjutkan ke puisi kelima, bro? Judulnya "Aku, Takdir, dan Titik Koma"—tentang hidup yang belum selesai walau rasanya ingin menyerah.

Fatwa langit 3

 Langit yang Tak Menjawab, Tapi Mengerti



Aku pernah berteriak dalam doa,

sekeras badai yang menumbangkan malam.

Meminta—mungkin memaksa—

agar langit bicara,

agar Tuhan menjawab.


Namun yang datang justru sunyi,

yang tinggal hanya sepi.

Langit tetap biru tanpa pesan,

dan bumi tak berubah arah.


Aku kira itu diam.

Aku sangka itu abai.

Tapi ternyata…

itulah bentuk paling lembut dari kasih sayang-Nya.


Sebab tak semua luka butuh jawaban,

kadang cukup dimengerti.


Dan Tuhan, meski tak menjawab dalam kata,

mengatur daun jatuh

untuk menghibur jiwaku.

Mengirim angin

untuk menyeka air mataku.


Kini aku tahu,

langit yang tak menjawab,

tetap mengerti hatiku yang retak.


Bukan tak peduli,

hanya ingin aku bertumbuh

bukan dari jawaban,

tapi dari keyakinan.

Fatwa langit 2

 Ketika Doa Tidak Mengubah Takdir


Aku bersimpuh malam-malam,

melafazkan pinta yang sama,

berharap langit mendengar

dan bumi berubah arah.


Aku menangis—bukan karena tak percaya,

tapi karena berharap takdir bisa ditawar

dengan air mata yang jatuh dalam diam.


Namun pagi tetap datang,

dengan jawab yang berbeda:

bukan kesembuhan,

bukan keajaiban,

bukan apa yang kupinta—

tapi kekuatan untuk menerima.


Maka aku paham,

bahwa doa bukan kunci yang membelokkan garis-Nya,

tapi jendela kecil

yang membuka cahaya

untuk melihat dengan hati,

bukan dengan ingin.


Ternyata, ketika doa tidak mengubah takdir,

ia sedang mengubah aku—

dari yang memaksa

menjadi yang berserah.


Dan di situlah aku mulai mengerti:

bahwa Tuhan lebih ingin

menyembuhkan jiwaku,

daripada hanya menyelamatkan keinginanku

Jumat, 02 Mei 2025

Memahami fatwa langit pada bumi

Fatwa Langit


Manusia menggenggam harapan,
merangkai rencana dengan tangan gemetar,
berharap esok cerah,
berdoa agar takdir tunduk pada doa.


Namun langit punya caranya sendiri—
tak lantang, tak terburu,
hanya bisu yang penuh makna:
"Yang terjadi adalah fatwa-Ku,
bukan fatwamu."


Kita ingin sembuh,
Allah ingin kita kembali.
Kita ingin berhasil,
Allah ingin kita belajar kehilangan.
Kita ingin bahagia,
Allah ingin kita kembali pada-Nya.


Dan di antara tangis dan tak mengerti,
kita akhirnya sujud—
bukan karena kalah,
tapi karena sadar:
rencana-Nya tak pernah keliru.


Langit tak butuh persetujuan kita,
karena Ia Maha Tahu
apa yang tak sanggup kita lihat hari ini.


Maka biarlah fatwa langit berlaku,
pada setiap hembusan napas dan patah hati.
Karena di ujung semua itu,
ada pelukan Tuhan
yang tak pernah salah arah.

Kamis, 01 Mei 2025

Antara dua kota

 Sajak Di Antara Dua Kota"

(untuk Windy dan sahabat-sahabat dari Jember)


Dari Jember pagi-pagi mereka berangkat,

membawa rindu dan setangkai doa yang belum sempat.

Delapan sahabat, delapan cahaya,

datang sebagai utusan cinta

untuk jiwa yang telah berpulang dengan senyap.


Mereka tak membawa suara gaduh,

hanya ketulusan yang tak bisa dibungkus kata.

Kembang setaman dibawa serta,

bukan hanya untuk menghias tanah merah,

tapi sebagai lambang:

sahabatmu tak pernah pergi dari hatinya mereka.


Rumahmu kini sunyi,

tapi langkah mereka menorehkan jejak:

bahwa hidup bukan hanya milik yang bernyawa,

tapi juga milik kenangan yang kekal dalam setia.


Di antara dua kota,

ada jalan panjang bernama persahabatan.

Ada tangis, ada tawa yang pernah kalian ciptakan—

kini abadi dalam diam.


Windy,

mereka telah datang,

menyentuh hatimu dengan ziarah yang tak terlihat.

Karena persahabatan sejati,

tak mengenal batas kota,

tak dikubur bersama jasad—

ia hidup dalam doa yang terus dilafazkan

oleh mereka yang mencintaimu,

hingga kelak, kalian kembali berkumpul

di kota yang tak pernah memisahkan.







Sistem relatifitas waktu

 Cara kerja berfikir otak manusia dibagi dua yaitu cara berfikir cepat dan cara berfikir lambat " Ini saya dah pernah dipublikasikan ol...