Esai
Ujian Janji Suci dan Kesetiaan Hati
Setiap janji yang suci akan diuji.
Bukan untuk melemahkannya, tapi untuk menguatkan akar-akarnya.
Sebab cinta bukanlah taman yang selalu bermekaran, tapi ladang yang harus digarap, bahkan saat hujan tak kunjung turun.
Ada masa ketika kata “aku cinta padamu” menjadi sunyi.
Bukan karena cinta hilang, tapi karena dunia meminta lebih banyak diam daripada bicara.
Ada masa ketika dua hati saling menjauh, bukan karena tak saling rindu, tapi karena masing-masing sedang berperang dengan luka dan kelelahan yang tak terlihat.
Di titik itulah, kesetiaan bicara.
Kesetiaan bukan sekadar tidak berpaling pada yang lain.
Ia adalah keteguhan untuk tetap tinggal, meski pintu-pintu pelarian tampak lebih mudah.
Ia adalah pilihan untuk terus menggenggam tangan yang sama, bahkan ketika tangan itu gemetar, basah oleh air mata atau tertutup debu perjalanan.
Ujian itu bisa datang dalam bentuk sepi yang panjang, perbedaan yang tak habis-habis, atau godaan dari luar yang tampak lebih memikat. Tapi kesetiaan bukan soal tidak tergoda. Ia soal kemampuan untuk kembali—selalu kembali—pada janji pertama, pada suara hati yang pernah bersaksi bahwa “engkaulah tempatku pulang”.
Janji suci akan diuji oleh waktu, oleh keadaan, dan oleh kita sendiri. Tapi barang siapa yang tetap teguh dalam badai, ia akan melihat: cinta yang diuji dan bertahan, jauh lebih indah dari cinta yang tak pernah diuji.
Karena di balik kesetiaan, ada kemurnian jiwa.
Dan di situlah Tuhan menyisipkan keberkahan yang tak bisa dibeli denga
n apa pun di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar