Esai
Perang dan Egosentris Manusia: Runtuhnya Peradaban Tanpa Kebaikan
Sejak zaman purba hingga era modern yang sarat teknologi, perang tak pernah absen dari jejak langkah umat manusia. Perang menjadi lembaran kelam yang terus berulang dalam sejarah, mencerminkan sisi tergelap dari naluri manusia: dorongan untuk menaklukkan, mendominasi, dan membenarkan kekuasaan dengan kekerasan. Di balik kilatan pedang zaman dulu hingga dentuman senjata canggih hari ini, terdapat benang merah yang sama—egosentrisme manusia yang mengabaikan empat pilar hakiki dalam membangun kehidupan: kebaikan, kebenaran, kebijaksanaan, dan keindahan.
Peradaban besar seperti Mesir Kuno, Yunani, Romawi, hingga Babilonia pernah berdiri megah, menjadi pusat ilmu, budaya, dan sistem pemerintahan yang kompleks. Namun pada akhirnya, banyak dari mereka tumbang bukan karena alam yang murka, melainkan karena manusia yang mengkhianati nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Ego pemimpin, kerakusan ekspansi, serta pengkhianatan terhadap nilai luhur menjadi racun yang meruntuhkan bangunan megah peradaban.
Perang bukanlah semata pertarungan senjata, tapi juga pertarungan narasi: siapa yang berhak hidup, siapa yang layak berkuasa, dan siapa yang harus dikorbankan. Dalam perang, manusia seringkali kehilangan martabatnya. Anak-anak menjadi yatim, wanita diperkosa, budaya dibumihanguskan. Apakah ini hasil dari akal budi manusia yang katanya makhluk paling sempurna?
Jawabannya terletak pada hilangnya keseimbangan antara akal dan hati. Kebaikan dikesampingkan demi ambisi. Kebenaran diputarbalikkan oleh propaganda. Kebijaksanaan digantikan nafsu berkuasa. Dan keindahan—yang seharusnya menjadi napas peradaban—terkubur oleh puing-puing bangunan yang dibom.
Manusia kerap membangun peradaban dengan tangannya sendiri, namun juga menghancurkannya dengan tangan yang sama. Seolah lupa bahwa kekuasaan tanpa nilai akan melahirkan kekosongan. Perang hanya menjadi siklus destruktif jika tak disertai evaluasi moral dan spiritual yang dalam.
Kini, di tengah dunia yang katanya "maju", perang tetap menjadi alat untuk mempertahankan dominasi. Namun apakah kita akan terus mengulang tragedi yang sama? Atau sudah saatnya membangun peradaban baru dengan fondasi kebaikan yang universal, kebenaran yang adil, kebijaksanaan yang luhur, dan keindahan yang memuliakan hidup?
Jika manusia gagal belajar dari sejarah, maka kita tak sedang hidup dalam kemajuan, tapi hanya berputar dalam lingkaran kehancuran yang dibung
kus teknologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar