oleh Fian Amrullah Darmawan
Di sunyi waktu aku duduk sendiri,
menghitung detik yang tak pernah kembali.
Tuhan memberiku satu hari,
dua puluh empat jam,
seribu arah untuk kuisi.
Namun waktu bukan sekadar angka,
ia adalah makna yang tersembunyi dalam pilihan:
antara ibadah atau kelalaian,
antara cahaya atau kabut kebiasaan.
Ada yang menjadikannya tangga ke langit,
berdiri dalam qiyam di sepertiga akhir,
mengangkat harap dalam bisik dzikir—
sementara yang lain,
terlelap dalam buaian dunia,
hingga lupa caranya pulang.
Tuhan bersumpah demi masa,
karena masa adalah misteri dan ujian.
Ia tak berpihak pada siapa pun,
namun merekam siapa yang patut dikenang
dan siapa yang hilang tanpa kesan.
Sunyi waktu adalah tafsir jiwaku,
tentang hari-hari yang lewat tanpa syukur,
tentang jam-jam yang kupakai untuk hal sia-sia,
dan tentang detik-detik yang menunggu
untuk kutebus dengan makna.
Hari ini belum terlambat,
selama nafas masih mengalir dalam dada—
maka biarlah waktu ini kutafsirkan
dengan amal, dengan doa,
da
n dengan cinta yang kembali pada-Nya.