Mengisi ruang kosong dalam hati
Saat cahaya Duni tak mampu menyinari
Memberi makna tentang arah tujuan hidup
Yang sejati menuju negri keabadian
Mengisi ruang kosong dalam hati
Saat cahaya Duni tak mampu menyinari
Memberi makna tentang arah tujuan hidup
Yang sejati menuju negri keabadian
Jangan kau kira langit lupa
pada sebutir debu kedzaliman
yang kau tiupkan diam-diam
di sela doa-doa pura-pura.
Semesta mencatat,
tak dengan tinta, tapi dengan takdir.
Apa pun yang kau tanam
akan tumbuh —
baik itu bunga atau duri.
Sebutir niat jahat,
meski tersembunyi dalam senyuman manis,
akan kembali padamu
dengan luka di waktu yang tepat.
Karena hukum kehidupan
bukan soal siapa yang terlihat menang,
melainkan siapa yang tetap benar
di saat gelap maupun terang.
Kebaikan tak pernah sia-sia,
meski tak disambut sorak atau pujian.
Ia tumbuh menjadi pelindung
di kala badai datang tanpa peringatan.
Dan kedzaliman —
meski kecil,
meski dibungkus dalih dan kepintaran,
akan menagih balasan
yang sepadan.
Kualat bukan kutukan,
tapi pesan dari semesta:
jangan angkuh menginjak sesama,
sebab tanah yang kau pijak
bisa jadi saksi yang berdoa.
Maka bersihkan langkahmu,
jaga lidahmu,
tebarkan cahaya walau tak dilihat mata,
karena semua akan kembali —
tanpa kurang, tanpa lebih
pada waktunya.
Di antara simpang nadi dan denyut pikiran,
terdapat ruang hening —
tempat logika bersidang
dan hasrat mencoba membajak keputusan.
Pusat kendali utama,
tak terlihat, namun memutuskan segalanya.
Ketika akal sehat memegang palu sidang,
keputusan mengalir jernih —
menguntungkan diri,
menata struktur hidup yang harmoni.
Namun saat emosi menyusup
dalam sunyi tak terjaga,
ketuk palu pun meleset,
logika ditenggelamkan oleh arus rasa,
hingga keputusan yang diambil
menjadi bumerang bagi raga
dan jebakan bagi banyak jiwa.
Manusia — sang pengendali,
terkadang lupa pusat itu butuh keseimbangan:
antara nalar dan rasa,
antara hasrat dan etika.
Sebab satu keputusan yang non-logis,
meski tampak sepele,
bisa runtuhkan jembatan,
merusak sistem,
menghancurkan kepercayaan.
Maka jagalah pusat kendali utama:
berpikirlah sebelum memilih,
sebab logika tak hanya menyelamatkan diri,
tapi juga menjadi pagar bagi runtuhnya negeri.
Dalam pandangan manusia
Banyak bias yang terjadi sehingga menghasilkan sudut pandang berbeda tentang apapun,katakan saja tentang kebenaran:
Kebenaran versi siapa yang akan dipakai sebagai standar kebenaran.
Benar nya sendiri, benarnya orang banyak, benar' sebenar benarnya??
Waktu tidak menunggu siapapun
Dunia tidak memaklumi anda
Kita bukan siapa-siapa termasuk saya didunia ini
Nikmati hidup, adaptasi
Isi kegiatan dengan menyenangkan
Tetap tersenyum ,tatap masa depan
Ending nya kita pasti mati.
Menempuh perjalanan panjang menuju cakrawala senja" dengan bekal ilmu dan pengetahuan supaya tidak tersesat .
Terus berjalan hingga lelah ,lalu istirahat sejenak mengumpulkan energi untuk melanjutkan perjalanan sampai titik Ahir kembali pada asal mula yakni ketiadaan.
Ahir Ahir ini cuaca dingin extrim Kalam malam dan panas ketika siang" merujuk pada rotasi bumi yg menjauhi mata hari khusus di pulau Jawa ketika malam dipengaruhi oleh angin dari benua Australia yg membuat suhu udara menjadi dingin .
Sang raja memerintahkan kepada para adipti dan Senopati bekerja untuk kepentingan rakyat "
Sesuai amanat undang-undang
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Oleh: Fian Amrullah Darmawan
Aku bukan ahli ibadah,
bukan pula pewaris mimbar,
aku cuma asongan surga—
menggelandang di trotoar dunia,
menjajakan doa dengan tangan gemetar
dan wajah penuh malu.
Dosaku,
seperti pasir yang tak bisa kuhitung,
menghampar luas di pantai waktu
yang setiap hari digerus gelombang usia.
Aku tak punya banyak amalan,
hanya sesekali menangis di sajadah lusuh,
itu pun jika sempat—
karena kadang aku lebih sibuk
menghibur egoku daripada jiwaku.
Tapi aku percaya,
bahwa laut ampunan-Mu
tak pernah mengenal garis pantai.
Ia menelan alpha-ku
dengan kasih yang tak pernah padam,
walau aku terus-menerus lupa
cara meminta dengan benar.
Aku tidak berani memastikan surga,
sebab aku bukan hakim atas diriku sendiri.
Aku hanya bisa mengemis,
memohon ditampung di emperan rahmat-Mu
walau hanya jadi bayang-bayang
di antara para kekasih-Mu yang suci.
Karena hanya Engkau,
yang sanggup menjadikan
seorang pendosa tak tahu malu
sebagai tamu kehormatan
di istana keabadian.
"
Aku menyebut nama-Mu,
bukan untuk didengar orang,
tapi karena jika tidak,
hatiku seperti tanah retak yang menunggu hujan.
La ilaha illallah…
berulang-ulang,
hingga kata tak lagi jadi suara,
tapi jadi nafas,
jadi denyut nadi,
jadi diam yang paling jernih.
Aku lupa apa yang kupinta.
Aku lupa apa yang kupunya.
Yang tersisa hanya Engkau,
duduk di singgasana hatiku yang porak-poranda.
Malam telah larut,
tapi aku tak ingin tidur.
Sujud terasa lebih nyenyak
daripada mimpi yang fana.
Tuhanku…
inikah fana?
Ketika aku hilang, dan ha
nya Engkau yang tersisa?
Aku duduk di tengah tawa,
tapi hatiku seperti ruang kosong yang tak diajak bicara.
Orang-orang berseru,
berbagi cerita,
sementara aku menyesap hening
di antara suara yang tak menyentuh jiwa.
Ada sunyi yang tak bisa dijelaskan,
seperti hujan yang jatuh di malam
tanpa ada jendela untuk melihatnya.
Aku merindukan sesuatu—
yang tak bisa dibeli,
tak bisa disentuh,
hanya bisa dirasakan
seperti pelukan yang tak pernah datang,
atau doa yang menggantung di langit sore.
Di tengah keramaian,
aku mencari Tuhan
bukan di speaker yang keras,
tapi di detak yang lirih
yang menuntunku pulang
ke dalam diriku sendiri.
"
Kalau kamu kopi,
aku rela begadang tiap hari.
Kalau kamu hujan,
aku gak bakal cari payung—biar basah asal bareng kamu.
Kalau kamu mimpi,
aku gak mau bangun lagi.
Eh... tapi kamu nyata, kan?
Soalnya jantungku udah deg-degan
dari tadi.
Oleh: Fian Amrullah Darmawan
Tuhan Maha Asy-Syakur,
Yang mencatat syukur dalam bisik angin dan desir debur,
Terima kasih atas tiap tetes rahmat-Mu
yang jatuh di ladang dan lautan,
menghidupkan bumi bagi hamba-hamba pilihan.
Terima kasih, petani,
kau rajut peluh di pagi buta,
menggemburkan tanah dengan sabar,
hingga padi tumbuh menguning,
sayur menghijaukan harapan dapur kami.
Terima kasih, nelayan,
kau tempuh badai dan sunyi samudera,
jaringmu menari di antara ombak,
membawa pulang ikan segar—rezeki yang halal dan berkah.
Terima kasih, peternak ayam,
dalam kandang sabar kalian menunggu,
hingga daging dan telur jadi nikmat
yang mengenyangkan doa-doa keluarga.
Dan di atas segalanya,
Terima kasih, ya Allah…
Engkau limpahkan kasih sayang pada bumi
sehingga hidup tetap bertumbuh,
meski kami sering alpa bersyukur.
Terima kasih…
Untuk segalanya.
Aku bukan ulama,
hanya peziarah sunyi di padang tanya,
mengulurkan tangan ke langit
menyadap embun dari awan Al-Qur'an.
Setiap ayat—mata air jernih
yang memancar dari batu karang hati,
mengalir di relung fikir
membasuh debu dunia yang mengeringkan ruhku.
Al-Qur’an bukan menara gading,
ia adalah pelita yang menyusup
ke celah-celah gua nurani,
membakar gelap dengan cahaya yang tak pernah padam.
Kuterjemahkan nur itu
dengan bahasa luka dan cinta,
sebab setiap insan
punya kunci rahasia
untuk membuka jendela langit
dan menatap wajah Tuhannya
di balik tirai makna.
Aku bukan siapa-siapa,
namun di dalam sunyi malam
kutemukan detak kasih-Nya
bergetar di balik huruf-huruf yang kubaca,
seperti desir angin di padang pasir
yang membawa aroma surga.
Bukan karena gelar,
bukan karena sorban di kepala,
setiap jiwa yang bertanya—
berhak mengetuk pintu langit dengan Al-Qur’an di dada.
Tak perlu perantara,
hanya hati yang jujur dan fikiran yang merdeka,
membaca bukan sekadar huruf,
tapi menyelami laut makna yang tak pernah kering oleh zaman.
Firman Tuhan bukan milik golongan,
tapi anugerah bagi insan yang mencari jalan.
Diserapnya nur dari ayat-ayat suci,
seperti embun pagi menyucikan bumi.
Setiap huruf adalah undangan,
bagi yang rindu mengenal Tuhan.
Dan barangsiapa menyimak dengan hati,
akan sampai pada cinta sejati—
yakni Allah dan kek
asih-Nya, sang nabi.
Ku goreskan namamu di bibir ranum Kumbolo
kubawa mimpiku sampai kepuncak maha meru
Ku persembahkan sujud kehambaanku meraapal doa harapan
Disana ku lihat dataran rendah dan ku tau ketika sampai puncak
Ternyata tak ada jalan lain kecuali turun.
Falsafah hidup kutemukan
Menjalani kenyataan
Meyakini harapan
Berjuang keras melampaui batas kemampuan
Hingga saat tunduk pasrah menerima kenyataan.
"
Setiap kali namamu disebut,
senyumku merekah tanpa bisa kutahan,
seolah ada bunga yang tiba-tiba mekar
di musim yang tak dijanjikan mekar.
Kau bukan sekadar nama,
kau gema bahagia dalam ruang dadaku—
seperti takbir di malam syawal,
menggetarkan hati yang lama menunggu terang.
Engkau hari rayaku,
yang ditunggu dengan doa dan rindu,
sedang yang lain,
hanyalah barisan hari biasa
yang berlalu tanpa a
roma kenangan.
Tree logi satu.3
Engkau adalah satu,
yang kusebut dalam sujud panjang di sepertiga malam,
yang kusembunyikan namanya di balik doa,
agar Malaikat mencatatnya tanpa cemburu dunia.
Satu di hatiku —
bagai nur Ilahi yang menyala diam-diam,
menyinari ruang kosong antara aku dan Tuhan.
Satu di pikiranku —
seperti tasbih yang kupintal dari bayang wajahmu,
setiap butirnya menggetarkan zikir akan kasih yang suci.
Satu di aliran darahku —
mengalir bersama harapan yang kupasrahkan,
menjadi mawar dalam taman sabar yang kupelihara diam-diam.
Satu di detak jantungku —
bagai dentum azan dalam dada,
membangunkanku dari lalai, menuntunku pada makna.
Satu-satunya engkau,
yang tak kupuja melebihi cinta kepada-Nya,
tapi kusematkan namamu seperti doa yang terjaga.
Jika kita tak bersatu di dunia fana,
aku titipkan rinduku pada langit,
agar kelak Tuhan menyatukan kita
di surga yang tiada luka.
tree logi puisi satu.2
Satu di hatiku, tak terganti
Meski dunia berputar, engkau tetap abadi
Satu di pikiranku, siang dan malam
Namamu terucap dalam diam, dalam salam
Satu di aliran darahku yang hangat
Mengalir bersama harap yang tak sesaat
Satu di detak jantungku berdentum
Irama rindumu menjadi alunan yang mengaum
Satu-satunya kau…
Yang kupandang dalam diam panjang
Yang kusebut dalam doa, tenang-tenang
Yang menjadi pusat perhatianku,
di antara semesta yang berlalu
Tak ada dua, tak ingin tiga
Cinta ini cukup satu —
dan itu kamu.
Tree logi puisi
Engkau adalah satu,
seperti matahari yang enggan terbit di hati selainku,
seperti bulan yang menolak bersinar di malam selain namamu.
Satu di hatiku —
seperti akar pada pohon rindu,
mencengkeram dalam, tak goyah oleh musim yang cemburu.
Satu di pikiranku —
bagai kabut pagi yang menyelimuti gunung ingatan,
hadirmu samar, tapi mendalam, tak bisa kulepaskan.
Satu di aliran darahku —
seperti sungai yang hanya mengenal satu muara,
kau adalah arah semua desir hasrat dan doa.
Satu di detak jantungku —
layaknya irama rahasia semesta yang tak bisa ditulis pujangga,
kau berdetak bersama takdir dan sukma.
Satu-satunya, engkau,
pusat dari tata surya jiwaku yang berputar,
pusat cahaya yang kuburu dalam gelap yang samar.
Cinta ini bukan angka, tapi takdir yang memilih satu,
dan seluruh hidupku
—
adalah jarak menuju kamu.
Cinta yang panas tapi suci,
membakar dunia—menyisakan langit dalam hati.
Tak ia sentuh yang fana,
hanya menjaga rindu dari debu syahwat yang menggoda.
Kekasih bukan hanya tubuh,
tapi jiwa yang menunggu di antara malam dan subuh.
Ia bukan pemilik raga,
tapi penjaga doa-doa yang lirih mengalir di sejadah asa.
Kemurnian bukan dingin,
melainkan api yang tahu di mana harus memeluk dan menahan angin.
Ia bertapa dalam diam,
berzikir dalam sunyi, meneguk sabar sebagai madah suci.
Duhai cinta,
jadilah jalan kembali ke Tuhan
yang tak terlihat namun terasa
di dada kekasih yang tak pernah menyerah
menjaga cahaya-Nya.
Sudah tiga puluh empat tahun
Aku melihat matahari terbit dari timur
Dan tenggelam di ufuk barat
Dengan segala perubahan musim nya
Sudah banyak waktu mengajarkan kepada ku tentang lara lapa, ketabahan dan kesabaran dalam doa
Sudah kulalui kehilangan demi kehilangan yg menyayat hati
Sudah menjadi bagian dari proses kehidupan
Sudah ku rasakan manis pahitnya kehidupan
Sudah ku sudahi saja yang bukan bukan
Sudah lah.
"
Kala malam datang,
rebah tubuhku—bantal rindu dan berselimut angin,
tidur dengan berjuta angan tentang dirimu,
yang tak jua singgah di pelataran mimpiku.
Langit kusemai dengan desah doa,
bintang-bintang jadi saksi:
aku menulis namamu di langit-langit sunyi
dengan tinta kesabaran yang nyaris kering.
Rinduku adalah kabut,
menyelimuti dada, menari di antara sepi,
kadang berubah jadi gerimis dalam dada
yang jatuh perlahan, namun tak pernah reda.
Waktu memelukku dengan dingin yang tak bernama,
dan bayangmu menari-nari seperti cahaya lilin
di ujung lorong hati yang belum padam.
Bila esok fajar datang,
akan kutambatkan harap pada mentari,
semoga langkahmu yang jauh
membaca sinyal rinduku dalam tiap cahaya pagi.
"
Ya Allah…
Jika lidahku kaku dalam doa,
izinkan namanya yang menembus langit membuka pintu-Mu—
Muhammad bin Abdullah, binti Aminah,
cahaya yang Engkau rindu sebelum semesta dicipta.
Aku bukan siapa-siapa,
tapi kusebut nama yang paling Kau cinta,
agar Engkau pandang diriku yang penuh cela
dengan kasih yang Kau limpahkan padanya.
Duhai Yang Maha Mengabulkan,
jika doaku tak layak terbang ke Arasy,
biarlah ia menumpang pada harum selawat,
menuju-Mu bersama cinta Muhammad yang tak pernah tamat.
Wahai Allah…
Engkau tahu hatiku dipenuhi debu dunia,
namun di antara retaknya ada satu nama yang selalu bersih:
Rasul-Mu, sang penyayang ummat, kekasih akhirat.
Maka kabulkan, bukan karena aku,
tapi karena aku membawa cinta yang Kau tanamkan pada hamba-Mu—
Muhammad, sang pelita hati yang tak pernah padam.
Dengan namanya, aku mengetuk langit…
Dengan namanya, aku merayu-Mu…
Dengan namanya, aku berharap Engkau tersenyum kepadaku.
Ku simpan saja gelap duka-ku
Ku simpan saja gemuruh api amarah-ku
Ku simpan saja gelombang derita-ku
Ku simpan saja badai kekecewaan-ku
Semua yang nampak baik baik saja
Wahai Sang Kekasih yang tak pernah lelah mencinta,
namamu kusebut ribuan kali, hingga langit pun terbakar rindu-Nya.
Cintamu meresap ke tulang sumsumku,
lebih dahsyat dari api yang mencairkan gunung beku!
Aku haus, tapi hanya zikir-Mu yang sanggup memadamkan nyala,
karena dunia tak punya air yang mampu menyentuh dahaga jiwa.
Kucari wajah-Mu di balik daun yang jatuh,
dan kutemukan langit menunduk memanggil-Mu penuh keluh.
Cinta ini bukan cinta biasa,
ia adalah badai dalam dada yang tak bisa ditenangkan kata.
Jika Engkau jauh walau sedetik,
seluruh semesta dalam diriku akan retak, meledak, dan sirna seketik!
Duhai Yang Maha Lembut,
rengkuhlah aku dalam peluk-Mu yang tak berbatas waktu.
Karena jiwaku adalah debu,
yang hanya bersinar saat Engkau menatapn
ya satu detik saja.
"Fian Amrullah Darmawan
Aku bangkit dengan dada membara,
seperti matahari yang mampu membakar samudra!
Langkahku menjejak bumi dengan gelegar,
hingga gunung pun gemetar menyaksikan sabar.
Angin pun tak sanggup mengejar tekadku,
karena semangatku melesat melebihi cahaya waktu!
Hatiku menampung ribuan doa,
lebih luas dari langit, lebih dalam dari samudra!
Hari ini, kujalani dengan tawa mengguncang awan,
sukacita yang sanggup mencairkan beku ribuan zaman!
Tak ada duka yang bisa menenggelamkanku,
karena jiwaku kapal, dan Allah ad
alah nahkodaku.
"
Fajar bersujud di ujung malam,
membisikkan tasbih di antara awan kelam.
Cahaya mentari mengetuk hati,
mengajak bangkit, menepis sunyi.
Embun menyapa daun dengan zikir,
berkata, "Jangan lelah untuk bersyukur."
Waktu berlari membawa salam,
menggugah jiwa tuk tetap dalam Islam.
Langit menari dalam ayat-Nya,
mengiring langkahmu menuju ridha.
Hari pun berselawat dalam diam,
menyambut insan yang tetap teguh dalam iman.
Wahai hati, bangunlah penuh cita,
karena Allah tak pernah tinggalkan hamba-Nya.
Jalani hari dengan senyum tawakal,
karena rahm
at-Nya selalu kekal.
Mentari tersenyum di ujung jendela,
membisikkan harapan lewat cahaya.
Pagi menari di atas dedaunan,
mengajak langkahmu keluar dari kesunyian.
Angin pagi mengelus pundakmu,
berkata, "Bangkitlah, hidup menantimu!"
Detik-detik berlari, membawa pesan,
bahwa hari ini tak pantas disia-siakan.
Langit membentang seperti sahabat setia,
menampung doa-doa yang tak bersuara.
Jalani hari dengan sukacita, kawan,
sebab semesta pun bersorak dalam diam.
Dua rasa sakit yang pernah aku alami "
Pertama rasa sakit karena disiplin ,itu sakitnya cuma satu ons"
Kedua "rasa sakit karena Penyesalan,itu beratnya ber ton ton".
Langit berselimut jingga, azan hampir tiba,
Hari menua, jiwa merunduk dalam doa.
Apa yang terlewat, kuharap diampuni,
Maghrib menyapa—Tuhanku, tuntun hati
ini.
Matahari condong, waktu Dzuhur menjelang,
Langit bersaksi, hati tak lagi bimbang.
Detik demi detik kulalui dengan ikhlas,
Segala lelah kuhadiahkan pada Allah yang Maha Membalas.
Pagi terbit dari rahmat Ilahi,
Cahayanya suci, membasuh hati.
Bangkitlah jiwa, bersyukur sepenuh rasa,
Tuhan membuka hari—pintu rezeki dan asa.
Aku lihat kuli di pelabuhan,
Keringatnya jatuh setiap detik,
Tapi hidupnya masih berkawan hutang.
Sementara dia yang duduk di ruangan,
Cuma ketik-ketik, telepon-telepon,
Tapi namanya naik di majalah.
Maka kutahu, kerja keras itu syarat awal,
Tapi bukan tiket menuju puncak.
Harus ada ilmu, strategi,
Dan keberanian menantang arah angin
Aku pernah jatuh,
Tapi tak kubiarkan jatuhku jadi akhir.
Karena tanah tempat aku tersungkur,
Adalah tempat pijakku untuk bangkit.
Berjuang itu tak menjamin berhasil,
Tapi tak berjuang pasti menjamin gagal.
Maka aku pilih terluka dalam perjuangan,
Daripada aman dalam penyesalan
Cara kerja berfikir otak manusia dibagi dua yaitu cara berfikir cepat dan cara berfikir lambat " Ini saya dah pernah dipublikasikan ol...