Kabut pagi masih bergelayut malas di pelataran Hotel Jiwa Jawa ketika Dara menyalakan komputer di meja resepsionis. Tangannya cekatan, tapi wajahnya tetap datar, seperti biasa. Tak banyak yang tahu bahwa di balik tatapannya yang dingin itu, ada satu nama yang diam-diam ia tunggu—Fian. Pria yang tak pernah lelah mengiriminya pesan singkat setiap pagi, bertanya kabar, mengingatkan sarapan, dan sesekali menyelipkan candaan garing yang Dara balas hanya dengan emot titik tiga. Mereka belum lama kenal, tapi Fian sudah berkali-kali datang dari kota hanya untuk menepati janji-janji kecil—mengantar buku yang ia pesan, atau sekadar memastikan Dara masih baik-baik saja di bawah langit Bromo yang sering muram.
Pagi itu, Dara membuka WhatsApp, melihat notifikasi dari Fian: "Aku udah otw, semoga kabutnya bersahabat ya." Pesan itu masuk pukul lima subuh, saat embun masih menempel malu-malu di jendela mes kecilnya. Dara tak membalas. Bukan karena tak peduli, hanya saja ia tak tahu bagaimana menanggapi perhatian yang begitu konsisten tanpa pamrih. Di dunia yang ramai dan penuh tipu daya, Fian seperti anomali—terlalu sabar, terlalu tulus. Mungkin itu yang membuat Dara menjaga jarak. Ia takut jika hatinya terlalu dekat, ia akan kehilangan lagi seperti masa lalu yang belum selesai ia sembuhkan.
Tepat pukul sembilan pagi, suara motor matic berhenti di pelataran hotel. Dara melirik sekilas dari balik layar monitor, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Ia tahu siapa yang datang. Hanya satu orang yang nekat menempuh perjalanan berjam-jam ke Bromo membawa sekotak besar kebutuhan harian yang ia titip tanpa banyak harap. Fian turun dari motor dengan jaket abu-abu yang mulai lembap karena embun, menenteng tas belanja berisi SIM cards, sabun cuci, mukenah baru, hingga pembalut wanita. Barang-barang remeh bagi sebagian orang, tapi begitu berarti bagi Dara yang baru pindah ke lereng pegunungan dan belum tahu harus mengandalkan siapa.
Scurity hotel yang berjaga menyambut Fian dengan senyum ramah, seperti biasa. "Mas Fian, titipan Mbak Dara lagi ya?" tanyanya setengah berbisik, sudah hafal betul alur cerita yang tak pernah benar-benar diakui itu. Fian hanya mengangguk, matanya langsung mencari sosok Dara di balik meja resepsionis. Dara berdiri pelan, mendekat, lalu mengucap pelan, "Makasih ya... Maaf nyusahin terus."
Fian tersenyum. "Selama kamu butuh, aku datang."
Dua minggu berlalu sejak pertemuan terakhir. Kabut masih setia turun setiap pagi, dan hotel tetap sibuk dengan tamu-tamu yang datang silih berganti. Dara mulai terbiasa dengan ritme kerjanya, meski rasa sepi di antara jam-jam kosong kadang menyelusup diam-diam. Suatu pagi, pesan dari Fian kembali masuk: "Aku ke sana minggu ini, sempatin mampir ya. Aku bawa titipan lagi."
Dara hanya membaca tanpa membalas. Hatinya bimbang. Ia merasa Fian terlalu sering datang, terlalu baik, dan terlalu... ada. Hal yang seharusnya ia syukuri, tapi justru membuatnya risih. Ia takut menumbuhkan harap di ladang yang belum siap ditanami.
Ketika hari itu tiba, Fian benar-benar muncul lagi—masih dengan senyum yang sama, langkah pelan menuju meja resepsionis, dan satu tas kresek berisi snack, mie instan, susu UHT, bahkan pembalut wanita jenis favorit Dara.
"Aku cuma pikir mungkin kamu belum sempat ke toko," katanya ringan.
Dara menunduk. "Fian... makasih, tapi... ini kebanyakan. Aku nggak bisa terus-terusan nerima. Aku malu."Ia menahan napas, lalu menambahkan, "Aku terima, tapi nanti aku ganti ya. Jangan sering-sering kayak gini."
Fian mengangguk pelan. Matanya menatap Dara dengan tenang. "Nggak usah diganti, Ra. Tapi kalau itu bikin kamu nggak nyaman, aku ngerti. Aku cuma pengen kamu tahu, aku ada—meski dari jauh."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar