Sejak pertemuan itu, Fian tak lagi sering mengirim pesan. Tak ada lagi notifikasi pagi dengan sapaan hangat atau candaan kaku yang biasanya membuat Dara tersenyum diam-diam. Awalnya, Dara merasa lega. Tapi hari-hari berikutnya justru terasa lebih sunyi. Tidak ada yang menanyakan apakah ia sudah sarapan. Tidak ada yang menawari bantuan meski dari jauh. Dara mulai mencari-cari nama Fian di layar ponselnya, berharap ada pesan baru yang ia lewatkan. Tapi tidak ada.
Di kamar mesnya yang kecil, Dara duduk di tepi ranjang sambil menatap kotak makanan yang terakhir kali diberikan Fian. Sebagian masih tersimpan rapi di sudut lemari. Ia mengingat kembali tatapan Fian—bukan tatapan orang yang menuntut, tapi tatapan orang yang hanya ingin hadir tanpa mengganggu.
“Kenapa aku malah kangen?” bisiknya pelan.
Ia mulai menyadari, rasa risih yang dulu ia rasakan bukan karena Fian berlebihan. Tapi karena ia belum siap menerima seseorang yang benar-benar tulus, yang tidak datang untuk mengambil, tapi untuk memberi. Perlahan, tembok dingin yang ia bangun mulai retak. Dan di sela-sela retakan itu, tumbuh rasa hangat yang belum berani ia beri nama.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa—tapi tidak sepenuhnya biasa bagi Dara. Sudah hampir tiga minggu sejak Fian terakhir kali datang. Pesan terakhir pun hanya singkat: "Jaga diri ya, Ra." Tidak ada lagi ajakan bertemu. Bahkan story WhatsApp Fian pun kini kosong, seperti dirinya benar-benar memutuskan menjauh.
Suatu malam, Dara duduk di beranda mes, akhirnya mengetik pesan pendek:
“Fian, kamu ke mana? Kamu baik-baik aja, kan?”
Pesan itu terkirim. Tidak langsung dibaca. Saat akhirnya terbaca, jantungnya berdetak lebih cepat. Tapi tak ada balasan.
Esoknya, ia meminta izin keluar lebih awal dari shift sore. Ia pergi ke warung depan hotel, lalu menelepon nomor Fian.
“Haloo?” suara Fian terdengar, pelan.
“Ini aku, Dara,” ucapnya. “Kalau kamu nggak keberatan… aku pengen ketemu.”
“Aku masih di kota. Tapi kalau kamu mau, aku akan ke sana. Satu jam cukup?”
Dara tersenyum kecil, “Aku tunggu di lobi hotel.”
Langit Bromo mulai gelap ketika Fian tiba. Dara sudah duduk di pojok lobi, mengenakan sweater abu-abu dan syal rajutan. Tatapannya tertuju pada pintu kaca. Ketika Fian melangkah masuk, ia terlihat lebih lelah, tapi tetap dengan senyum yang sama.
“Maaf kalau aku tiba-tiba ngilang,” kata Fian. “Aku cuma nggak mau ganggu kamu lagi.”
“Aku yang salah... Aku nggak pernah bilang kalau aku senang kamu datang. Aku takut... terlalu nyaman.”
“Aku nggak terbiasa diperhatiin kayak gitu, Fian,” lanjutnya. “Tapi waktu kamu berhenti, aku baru sadar... ternyata aku kangen.”
Fian mengeluarkan sesuatu—sebungkus camilan favorit Dara.
“Aku bawa ini... bukan karena kamu butuh. Tapi karena aku pengen kamu tahu, aku masih di sini. Kalau kamu izinkan.”
Dara menerimanya, tersenyum.
“Kali ini… aku nggak akan nolak. Dan aku juga nggak akan bilang mau ganti. Karena yang aku mau ganti... adalah caraku memperlakukan kamu.”
“Kalo gitu, boleh nggak... aku temani kamu lihat sunrise besok?”
“Boleh. Tapi kamu yang bawain kopi.”
Pagi-pagi sekali, Fian datang dengan dua gelas kopi. Mereka berjalan ke bukit kecil di belakang hotel. Saat matahari mulai muncul dari balik kabut, Dara berbisik,
“Aku nggak pernah nyangka... perasaan bisa tumbuh setenang ini.”
Fian tersenyum. “Karena cinta yang tumbuh di ketinggian, mungkin lebih jernih dari yang tumbuh di keramaian.”
Dara menyandarkan kepala di bahu Fian. Di bawah langit Bromo yang perlahan cerah, cintanya benar-benar bersemi—dengan seseoran
g yang selama ini tak pernah lelah menunggu.
TAMAT