Aku mengenalmu saat tanganku masih bau tanah,
di bangku sekolah dasar,
di antara buku tulis dan pensil tumpul—
kau datang dalam suara Khairil,
“aku ini binatang jalang...”
dan aku terdiam, merasa sesuatu tumbuh
dari dada kecilku.
Lalu Kahlil Gibran menuliskan cinta di mataku,
bukan cinta remaja,
tapi cinta yang berdoa dalam sunyi.
Saat dewasa, kau tetap menemaniku,
dengan Zawawi yang menggema dari Madura,
atau Gus Mus yang menulis dengan tinta doa.
Kau tak pernah pergi,
hanya tumbuh dalam warna yang lain—
kadang kritik,
kadang luka,
kadang cinta yang tak minta balas.
Tapi yang paling aku kagumi darimu,
bukan hanya kata-katamu,
melainkan jejak para penyairmu
yang hidup abadi,
karena mereka menuliskan puisi
bukan sekadar untuk dibaca,
tapi untuk menghidupkan jiwa
yang hampir mati.